Fiqih Singkat Muslimah : Adab Bertamu / Menerima Tamu


Meminta ijin ketika masuk rumah

Islam telah memberikan perhatian yang sangat besar pada masalah adab meminta ijin masuk rumah. Allah telah mengaturnya secara khusus sebagaimana firman-Nya :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ * فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ * لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta ijin dan memberikan salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat ijin. Dan jika dikatakan kepadamu : “Kembali (saja)lah”; maka hendaknya kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan”.[QS. An-Nuur : 27-29]


Bahkan Allah telah memerintahkan kepada para orang tua untuk mendidik serta membiasakan anak semenjak usia dini agar meminta ijin ketika ingin memasuki kamar orang tuanya di tiga waktu khusus, sebagaimana firman Allah :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمِ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta ijin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu : sebelum sembahyang shubuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah sembahyang ‘Isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nuur : 58).

Akan tetapi bila telah menginjak usia baligh, maka ia harus meminta ijin kapan saja dan dimana saja, baik di dalam rumah ataupun di luar rumah, karena Allah telah berfirman :


وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta ijin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nuur : 59).

Secara lebih detail, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan adab dan etika meminta ijin melalui sunnah-sunnahnya, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :


Menyebutkan nama bagi orang yang meminta ijin dengan mengatakan,”Saya adalah Fulan”.

Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata :

أتيت النبي صلى الله عليه وسلم قد قمت الباب فقال : "من هذا ؟". فقلت : "أنا". فقال : "أنا أنا". كأنه كرهها
Aku mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam maka aku mengetuk pintu. Lalu beliau bertanya : “Siapa?”. Maka aku menjawab : “Saya”. Lalu beliau berkata : “Saya, saya”. Sepertinya beliau tidak suka” (HR. Bukhari Muslim).

Dari Abu Dzar radliyallaahu ‘anhu ia berkata :


خرجت ليلة من الليالي فإذا رسول الله صلى الله عليه وسلم يمشي وحده فجعلت أمشي في ظل القمر فلتفت فرأني فقال : "من هذا؟". فقلت : "أبو ذر"
"Aku keluar pada suatu malam, ternyata ada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sedang berjalan seorang diri. Maka aku sengaja berjalan di bawah cahaya bulan, lalu beliau menoleh dan melihatku. Maka beliau bertanya : “Siapa ?”. Aku menjawab : “Abu Dzarr” (HR. Bukhari Muslim).

Meminta ijin tiga kali (dengan mengetuk pintu dan mengucapkan salam)

Adab bagi seorang yang hendak bertamu adalah mengetuk pintu (hadits Jabir di atas) dengan pelan/tidak terlalu keras sambil minta ijin dengan mengucapkan salam.
Dari Kildah bin Hanbal radliyallaahu ‘anhu ia berkata :


دخلت عليه ولم أسلم فقال النبي صلى الله عليه وسلم : "ارجع !". فقال : السلام عليكم أأدخل ؟
Aku mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu aku masuk ke rumahnya tanpa mengucapkan salam. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Keluar dan ulangi lagi dengan mengucapkan Assalamu’alaikum, boleh aku masuk?” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan ia – yaitu Tirmidzi – berkata : Hadits hasan).

Dari Abi Musa Al-Asy’ary radliyallaahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :

الإستئذان ثلاثة، فإن أذن لك وإلا فارجع
Minta ijin masuk rumah itu tiga kali, jika diijinkan untuk kamu (masuklah). Dan jika tidak, maka pulanglah” (HR. Muslim).

Itulah adab syar’i yang mungkin “asing” di tengah kaum muslimin. Kita tidak perlu marah atau kesal jika pemilik rumah tidak memberi ijin dan menyuruh kita kembali pulang. Barangkali si pemilik rumah mempunyai hajat kesibukan atau udzur, sehingga tidak bisa melayani kedatangan tamu.

Tidak menghadap ke arah pintu

Ketika kita mengetuk pintu, dianjurkan untuk tidak menghadap ke arah pintu. Adab ini adalah untuk menghindari terlanggarnya kehormatan muslim lainnya dengan melihat sesuatu yang bukannya haknya untuk dilihat.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :


كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتى باب قوم لم يستقبل الباب من تلقاء وجهه ولكن من ركنه لأيمن أو لأيسره ويقول : السلام عليكم السلام عليكم
Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mendatangi pintu/rumah seseorang, beliau tidak berdiri di depan pintu. Akan tetapi di samping kanan atau di samping kiri. Kemudian beliau mengucapkan : Assalamu’alaikum Assalamu’alaikum” (HR. Abu Dawud).


Tidak boleh melihat ke dalam rumah

Poin ini merupakan kaitan dari poin di atas.

Dari Hudzail ia berkata : “Seorang laki-laki – ‘Utsman bin Abi Syaibah menyebutkan laki-laki ini adalah Sa’ad bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu – berdiri di depan pintu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk meminta ijin. Ia berdiri tepat di depan pintu. – Utsman bin Abi Syaibah mengatakan : Berdiri mengahadap pintu - . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya :


هكذا عنك - هكذا - فإنما الإستئذان من النظر
Menyingkirlah dari depan pintu, sesungguhnya meminta ijin itu disyari’atkan untuk menjaga pandangan mata” (HR. Abu Dawud).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :

لو أن امرأ إطلع عليك بغير إذن فخذفته بحصاة ففقأت عينه ما كان عليك من جناح
Sekiranya ada seseorang yang mengintip rumahmu tanpa ijin, lalu engkau melemparnya dengan batu sehingga tercungkil matanya, maka tidak ada dosa atasmu” (HR. Bukhari dan Muslim).(1)

Inilah beberapa pokok-pokok adab Islam dalam minta ijin masuk rumah. Berikut hal- hal yang mesti diketahui juga tentang adab dalam bertamu.

Memperbaiki Niat

Tidak bisa dipungkiri bahwa niat merupakan landasan dasar dalam setiap amalan. Hendaklah setiap muslim yang akan bertamu, selain untuk menunaikan hajatnya, juga ia niatkan untuk menyambung silaturahim dan mempererat ukhuwah. Sehingga,… tidak ada satu amalan pun yang ia perbuat melainkan berguna bagi agama dan dunianya. Tentang niat ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امريء ما نوى

Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat dan setiap orang tergantung pada apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari, Muslim dan selain keduanya).

Ibnul-Mubarak berkata :

رب عمل صغير تعظمه النية ورب عمل كبير تصغره النية

Betapa amal kecil diperbesar oleh niatnya dan betapa amal besar diperkecil oleh niatnya” [Jaami’ul-Ulum wal-Hikam halaman 17 – Daarul-Hadits].

Memberitahukan Perihal Kedatangannya (untuk Minta Ijin) Sebelum Bertamu

Adab ini sangat penting untuk diperhatikan. Mengapa ? Karena tidak setiap waktu setiap muslim itu siap menerima tamu. Barangkali ia punya keperluan/hajat yang harus ditunaikan sehingga ia tidak bisa ditemui. Atau barangkali ia dalam keadaan sempit sehingga ia tidak bisa menjamu tamu sebagaimana dianjurkan oleh syari’at. Betapa banyak manusia yang tidak bisa menolak seorang tamu apabila si tamu telah mengetuk pintu dan mengucapkan salam padahal ia punya hajat yang hendak ia tunaikan. Allah telah memberikan kemudahan kepada kita berupa sarana-sarana komunikasi (surat, telepon, sms, dan yang lainnya) yang bisa kita gunakan untuk melaksanakan adab ini.

Menentukan Awal dan Akhir Waktu Bertamu


Adab ini sebagai alat kendali dalam mengefisienkan waktu bertamu. Tidak mungkin seluruh waktu hanya habis untuk bertamu dan melayani tamu. Setiap aktifitas selalu dibatasi oleh aktifitas lainnya, baik bagi yang bertamu maupun yang ditamui (tuan rumah). Apabila memang keperluannya telah usai, maka hendaknya ia segera berpamitan pulang sehingga waktu tidak terbuang sia-sia dan tidak memberatkan tuan rumah dalam pelayanan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

فإذا قضى أحدكم نهمته من وجهه فليعجل إلى أهله
Apabila salah seorang diantara kamu telah selesai dari maksud bepergiannya, maka hendaklah ia segera kembali menuju keluarganya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berwajah Ceria dan Bertutur Kata Lembut dan Baik Ketika Bertemu

Wajah muram dan tutur kata kasar adalah perangai yang tidak disenangi oleh setiap jiwa yang menemuinya. Allah telah memerintahkan untuk bersikap lemah lembut, baik dalam hiasan rona wajah maupun tutur kata kepada setiap bani Adam, dan lebih khusus lagi terhadap orang-orang yang beriman. Dia telah berfirman :


وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman” [QS. Al-Hijr : 88].

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata :

ألن لهم جانبك, كقوله : لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم
Maksudnya bersikap lemah lembutlah kepada mereka sebagaimana firman Allah ta’ala : “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang beriman” (QS. At-Taubah : 128) [selesai perkataan Ibnu Katsir].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لا تحقرن من المعروف شيئا ولو أن تلقى أخاك بوجه طلق
Janganlah sekali-kali kamu meremehkan sedikitpun dari kebaikan-kebaikan, meskipun hanya kamu menjumpai saudaramu dengan muka manis/ceria” [HR. Muslim].

Selain berwajah ceria dan bertutur kata lembut, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah hendaklah ia berkata baik dan benar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan tegas telah memberi peringatan :


من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam” [HR. Bukhari, Muslim, dan selain keduanya. Hadits ini terdapat dalam Arba’in Nawawi nomor 15].

Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menggandengkan kata iman dengan pilihan antara berbicara baik atau diam. Mafhumnya, jika seseorang tidak mengambil dua pilihan ini, maka ia dikatakan tidak beriman (dalam arti : tidak sempurna imannya). Hukum asal dari perbuatan adalah diam. Kalaupun ia ingin berkata, maka ia harus berkata dengan kata-kata yang baik. Sungguh rugi jika seseorang bertamu dan bermajelis dengan mengambil perkataan sia-sia lagi dosa seperti ghibah, namimah (adu domba), dan lainnya yang tidak menambah apapun dalam timbangan akhirat kelak kecuali dosa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إن الرجل ليتكلم بالكلمة ما يتبين ما فيها يزل بها في النار أبعد ما بين المشرق والمغرب
Sesungguhnya seseorang mengucapkan kata-kata, ia tidak menyangka bahwa ucapannya menyebabkan ia tergelincir di neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat” [HR. Bukhari dan Muslim].

Tidak Sering Bertamu

Mengatur frekwensi bertamu sesuai dengan kebutuhan dapat menimbulkan kerinduan dan kasih-sayang. Hal itu merupakan sikap pertengahan antara terlalu sering dan terlalu jarang. Terlalu sering menyebabkan kebosanan. Sebaliknya, terlalu jarang mengakibatkan putusnya hubungan silaturahim dan kekeluargaan.

Dianjurkan Membawa Sesuatu Sebagai Hadiah

Memberi hadiah termasuk amal kebaikan yang dianjurkan. Sikap saling memberi hadiah dapat menimbulkan perasaan cinta dan kasih saying, karena pada dasarnya jiwa senang pada pemberian. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

تهادوا تحابوا
Berilah hadiah di antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai” [HR. Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 594; dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwaa’ no. 1601].

Tidak Boleh Seorang Laki-Laki Bertamu kepada Seorang Wanita yang Suaminya atau Mahramnya Tidak Ada di Rumah

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sangat keras menekankan pelarangan ini sebagaimana sabda beliau

إياكم والدخول على النساء فقال رجل من الأنصار يا رسول الله أفرأيت الحمو قال الحمو الموت
Janganlah sekali-kali menjumpai wanita”. Maka seorang laki-laki dari kaum Anshar bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan Al-Hamwu?”. Beliau menjawab : “Al-Hamwu adalah maut” [HR. Bukhari dan Muslim].

Imam Al-Baghawi dalam menerangkan hadits ini mengatakan : Al-Hamwu jamaknya Ahma’ yaitu keluarga laki-laki dari pihak suami dan keluarga perempuan dari pihak istri. Dan yang dimaksudkan di sini adalah saudara laki-laki suami (ipar) sebab dia bukan mahram bagi istri. Dan bila yang dimaukan adalah ayah suami sedang ayah suami adalah mahram, maka bagaimana lagi dengan yang bukan mahram ? [selesai].

Tentang kalimat “Al-Hamwu adalah maut”; Ibnul-‘Arabi berkata : “Ini adalah kalimat yang diucapkan oleh orang Arab, sama dengan ungkapan : Serigala adalah maut. Artinya, bertemu serigala sama dengan bertemu maut”. (2)

Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Pembahasan ini dibagi dalam dua bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.

Adab Bagi Tuan Rumah


1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ
Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

2. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)

3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.

4. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى
Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari)

5. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:

فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ
Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)

6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.

7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.


8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.

9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:


مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.

10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.


11. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.


12. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,


فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ
Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)

13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.


14. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.


15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ
Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.

16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.


Adab Bagi Tamu


1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ دُعِىَ فَلْيُجِبْ

Barangsiapa yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ

Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut

  • Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
  • Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
  • Orang yang mengundang adalah muslim.
  • Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
  • Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
  • Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.

2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun orang yang miskin.

3. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim. Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa, “Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang tergantung niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)

4. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya:

يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ اْلحَقِّ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)

5. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan karena menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ
Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)

6. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan.


7. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.


8. Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat di atas: “Bila kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al Ahzab: 53)

9. Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat mempererat kasih sayang antara sesama muslim,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)

10. Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin kepada tuan rumah dahulu, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ يُقَالُ لُهُ أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ اِصْنَعْ لِي طَعَامًا اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ اْذَنْ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ
Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia mempunyai seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku makanan yang dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami. Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku telah mengizinkannya.”" (HR. Bukhari)

11. Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa:


أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ
Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani)

اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي, وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي
Ya Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR. Muslim)


اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ
Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka.” (HR. Muslim)

12. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan tuan rumah.

Diambil dari berbagai sumber terpoercaya,Insya Allah.
baca selengkapnya » Fiqih Singkat Muslimah : Adab Bertamu / Menerima Tamu

Fiqih Singkat Muslimah : Adab Berpakaian

A.Pakaian Wanita Dalam Islam

Allah Ta’ala berfirman:


وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (terpaksa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke dada-dada mereka.” (QS. An-Nur: 31)


Perhiasan yang dimaksud adalah perhiasan yang digunakan oleh wanita untuk berhias, selain dari asal penciptaannya (tubuhnya).
Khimar adalah sesuatu yang digunakan oleh wanita untuk menutupi kepalanya, wajahnya, lehernya, dan dadanya.


Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ تَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ تُرْخِينَهُ شِبْرًا قَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفَ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ تُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا تَزِدْنَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang memanjangkan kainnya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya.” Ummu Salamah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus dilakukan oleh para wanita dengan ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab, “Kalian boleh memanjangkannya sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi, “Jika begitu, maka kaki mereka akan terbuka!” Beliau menjawab, “Kalian boleh menambahkan satu hasta dan jangan lebih.” (HR. At-Tirmizi no. 1731 dan An-Nasai no. 5241)


Sehasta adalah dari ujung jari tengah hingga ke siku.


Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat: (1) Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya untuk memukul orang. (2) Wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berjalan dengan berlenggok-lenggok, mudah dirayu atau suka merayu, rambut mereka (disasak) bagaikan punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga. Padahal bau surga itu dapat tercium dari begini dan begini.” (HR. Muslim no. 2128)


Makna ‘berpakaian tetap telanjang’ adalah: Dia menutup sebagian auratnya tapi menampakkan sebagian lainnya. Dan ada yang menyatakan maknanya adalah: Dia menutupi seluruh auratnya tapi dengan pakaian yang tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Lihat Syarh Muslim: 14/356

Penjelasan ringkas:


Ketiga dalil di atas menunjukkan wajibnya seorang muslimah untuk berhijab.
Hijab secara syar’i adalah seorang wanita menutupi seluruh tubuhnya dan perhiasannya, yang dengan hijab ini dia menghalangi orang asing (non mahram) untuk melihat sedikitpun dari bagian tubuhnya atau perhiasan yang dia pakai. Dan hijab ini bisa berupa pakaian dan bisa juga berupa berdiam di dalam rumah.

Adapun menutup seluruh tubuh maka ini mencakup wajah dan kedua telapak tangan. Ini ditunjukkan dalam surah An-Nur di atas dari beberapa sisi:


1. Allah memerintahkan untuk kaum mukminin untuk menundukkan pandangan mereka dari yang bukan mahram mereka. Dan menundukkan pandangan tidak akan sempurna kecuali jika wanita tersebut berhijab dengan hijab yang sempurna menutupi seluruh tubuhnya. Sementara tidak diragukan lagi bahwa menyingkap wajah merupakan sebab terbesar untuk memandang ke arahnya.


2. Allah Ta’ala melarang untuk memperlihatkan sedikitpun dari perhiasan luarnya kepada non mahram, kecuali terlihat dalam keadaan terpaksa karena tidak bisa disembunyikan, semisal pakaian terluarnya. Jika Allah Ta’ala melarang untuk memperlihatkan perhiasan luar (selain tubuh), maka tentunya wajah dan telapak tangan yang merupakan perhiasan yang melekat pada diri seorang wanita lebih wajib lagi untuk disembunyikan.


3. Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengulurkan khimar mereka sampai ke dada-dada mereka, sementara khimar adalah sesuatu yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Jika khimar diperintahkan untuk diulurkan sampai ke dada, maka tentunya secara otomatis wajah tertutup oleh khimar tersebut.


Aisyah radhiallahu anha berkata,

“Semoga Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama. Tatkala Allah menurunkan, “Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke dada-dada mereka,” mereka merobek kain-kain mereka lalu menjadikannya sebagai khimar.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ucapan ‘mereka lalu menjadikannya sebagai khimar’, yakni: Mereka menggunakannya untuk menutupi wajah-wajah mereka.” (Lihat Fath Al-Bari: 8/489)

Adapun hadits Ibnu Umar di atas, maka dia menjelaskan mengenai beberapa perkara:
1. Kaki wanita adalah aurat yang wajib ditutup.
2. Larangan isbal hanya berlaku bagi lelaki dan tidak berlaku bagi wanita.
3. Panjang maksimal pakaian wanita adalah sehasta dari mata kaki, tidak boleh lebih dari itu.

Sementara hadits Abu Hurairah menjelaskan tentang syarat-syarat hijab dan hijab secara umum, yaitu:


1. Hijab tidak boleh tipis sehingga menampakkan apa yang ada di baliknya.
2. Hijab tidak boleh ketat sehingga membentuk lekukan tubuhnya.
3. Haramnya wanita berjalan dengan berlenggok, karena itu merupakan bentuk menampakkan perhiasannya.
4. Wajibnya wanita menjaga kehormatan dan rasa malu mereka.
5. Menutup sebagian tubuh dan menampakkan sebagian tubuh yang lain sama saja dengan telanjang.

[referensi: Hirasah Al-Fadhilah karya Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid]

B.Adab Berpakaian dan Berhias

Allah -Ta’ala- berfirman :


“Wahai bani Adam, telah kami turunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi auratkalian dan juga perhiasan. Sedangkan pakaian takwa , demikian itu lebih baik. Demikian itu adalah salah satu dari ayat-ayat Allah, agar mereka mau mengingatnya. Wahai Bani Adam, janganlah sampai syaithan menimpakan fitnah kepada kalian sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua orang tua kalian dari surga, dan meninggalkan pakaian mereka berdua sehingga auratnya tersingkap. Sesungguhnya syaithan, dia dan pengikutnya dapat melihat kalian dari tmepat yang kalian tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan para syaithan sebagai wali bagi orang-orang yang tidak beriman.“ ( Al-A’raf : 26 – 27 ).


Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash radhiallahu ‘anhuma, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

“Makan, minum, bersedekah dan berpakainlah kalian tanpa berlebih-lebihan dan berbuat kesombongan” .

C.Polemik Busana Muslimah Bermotif (bordir/renda)

Tanya:


Bismillah…
Assalamu’alaikum wa rohmatulloh wa barokatuh,
Ustadz, kami memiliki pertanyaan seputar jilbab muslimah. Telah terjadi diskusi antara beberapa akhwat, tentang hukum memakai busana muslimah (jilbab/ gamis/ Jubah) yang bermotif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis di luar rumah di hadapan non mahrom, dimana ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Berikut kami ringkaskan diskusi yang terjadi:

Yang membolehkan berhujjah/beralasan:


1. Pakaian bermotif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis tersebut sudah biasa di negeri kita (Indonesia) dan berpakaian hitam/gelap polos malah menjadi perhatian orang di sebagian tempat, kondisi ataupun acara yang kebanyakan orangnya berpakaian bercorak-corak/batik. Hendaknya kita berpakaian sesuai ‘urf, karena menurut para ulama hukumnya makruh jika kita menyelisihi ‘urf berpakaian masyarakat setempat.

2. Hadits Ummu Kholid rodhiyallohu anha yang mengenakan baju bergaris-garis hijau & kuning dalam Shohih al-Bukhori:


أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ فَقَالَ مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ فَسَكَتَ الْقَوْمُ قَالَ ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ فَأَخَذَ الْخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا وَقَالَ أَبْلِي وَأَخْلِقِي وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ فَقَالَ يَا أُمَّ خَالِدٍ هَذَا سَنَاهْ وَسَنَاهْ بِالْحَبَشِيَّةِ حَسَنٌ

“Dibawakan kepada Nabi sebuah kain yang di dalamnya ada pakaian kecil yang berwarna hitam. Maka beliau bersabda, “Menurut kalian siapa yang pantas kita pakaikan baju ini?” maka para sahabat diam. Beliau bersabda, “Bawa Ummu Khalid ke sini,” maka Ummu Khalid pun dibawa kepada beliau, lalu beliau mengambil baju tersebut dan memakaikannya. Lalu beliau bersabda, “Semoga tahan lama hingga Allah menggantinya dengan yang baru.” Pada pakaian tersebut ada corak yang berwarna hijau atau kuning, dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, ini sanah, sanah.” Sanah adalah perkataan bahasa Habasyah yang berarti bagus.” (no. 5375)


Dan berpendapat bahwa meski ketika itu Ummi Khalid belum baligh namun Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan, sehingga hadits ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan dewasa mengenakan pakaian berwarna hitam yang bercampur dengan garis-garis berwarna hijau atau kuning di hadapan laki-laki non mahrom. Dan juga adanya kaidah “tidak boleh menunda penjelasan ketika dibutuhkan”.

3. Imam Bukhori pernah meriwayatkan dalam kitab Shohih-nya bahwa Ummul Mukminin ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha pernah mengenakan pakaian berwarna merah dengan “corak mawar” ketika sedang melakukan ihrom di Makkah.

(catatan : Namun dalam diskusi tidak diberikan teks haditsnya & nomor hadits tersebut. Mohon konfirmasi dari ustadz, apakah hadits yang bermakna seperti ini ada atau tidak dalam shohih al-Bukhori?)

4. Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin rohimahulloh yang teks terjemahannya ada di link : http://www.alfurqon.co.id/busana-muslimah-dengan-bordir-dan-renda/

5. Fatwa syaikh Ali bin Hasan al-Halabi yang mengatakan bahwa batasan perhiasan adalah tergantung ‘urf masing-masing daerah. [Bila diperlukan, file rekamannya bisa kami kirimkan via email(?)]

6. Penjelasan Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shohih Fiqhis Sunnah lin Nisaa’ II/147-149.

7. Berpakaian hitam atau warna gelap memang memiliki kecenderungan untuk tersamarkan dari pandangan, akan tetapi berpakaian motif pun bisa membuat kita tersamar dari pandangan. Yang terpenting adalah bagaimana kita berpakaian, bukan seperti apa pakaian kita.

8. Tidak ada dalil shohih & shorih yang melarang baru bermotif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis untuk dipakai wanita dewasa di luar rumahnya di hadapan non mahrom.

Yang tidak membolehkan berhujjah/ beralasan:


1. Keumuman firman Alloh ta’ala :


“dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka…” (QS. an-Nur : 31)
“Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” [QS. Al-Ahzab : 33]


Sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam:


“Wanita itu aurat, maka bila ia keluar rumah, setan terus memandanginya (untuk menghias-hiasinya dalam pandangan lelaki sehingga terjadilah fitnah).” (Dishahihkan syaikh Al-Albani dalam ShahihAt-Tirmidzi , dan syaikh Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36)

2. Motif/ renda/ bordir/ garis-garis/ batik tersebut termasuk perhiasan. Bahkan secara ‘urf pun jika kita bertanya pada orang-orang :“apa tujuan dibuatnya motif/renda/bordir dll tersebut di pakaian yang asalnya polos?”, akan dijawab : “supaya indah”, “untuk hiasan”, dan yang semisal itu. Dan secara bahasa pun (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia / KBBI online) motif/ renda/ bordir juga disifati sebagai hiasan.


Jika kalung kita sebut sebagai perhiasan leher, gelang adalah perhiasan tangan, anting adalah perhiasan telinga, lipstik adalah perhiasan bibir, maka kita juga bisa sebut motif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis adalah perhiasan pada baju.
Sedangkan salah satu syarat jilbab yang syar’i yang disebutkan oleh para ulama adalah bahwa pakaian tersebut bukanlah perhiasan & ia berfungsi untuk menutupi perhiasan, sehingga tidak masuk akal apabila jilbab yang dikenakan itu sendiri berupa perhiasan.

3. Dan memakai pakaian warna polos yang tidak mencolok di mata masyarakat tidak bisa dikatakan menyelisihi ‘urf, jadi untuk sesuai dengan ‘urf tidak harus dengan menghiasi pakaian dengan motif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis.

4. Fatwa Lajnah Da’imah nomor 21352, tetanggal 9/3/1421 H tentang “model aba’ah yang di syari’atkan untuk wanita”, yang beranggotakan : Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Abdulloh bin Ghudayyan, Syaikh Sholeh al-Fauzan dan Syaikh Bakr Abu Zaid.

Di antara kriteria yang disebutkan adalah:


رابعا: ألا يكون فيها زينة تلفت إليها الأنظار، وعليه فلا بد أن تخلو من الرسوم والزخارف والكتابات والعلامات.

“Keempat : Tidak diberi hiasan-hiasan yang dapat menarik perhatian mata. Oleh karena itu harus polos dari gambar, pernak-pernik, dan tulisan-tulisan, maupun simbol-simbol”.

5. Dinukil pula pendapat Syaikh Amr Abdul Mun’im Salim dalam terjemahan kitabnya “Ahkamuz Ziinah lin Nisaa’” ketika menjelaskan syarat “Pakaian tersebut tidak berfungsi sebagai perhiasan”, setelah membawakan Surat an-Nuur ayat 31 beliau menjelaskan :

“Hendaklah pakaian tersebut tidak bercorak (bermotif) atau bergambar atau berwarna warni lebih dari satu warna dan dibordir. Semua itu termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan oleh kaum wanita di hadapan lelaki yang bukan mahromnya.”

6. Hadits Ummu Kholid rodhiyallohu anha terjadi ketika Ummu Kholid masih kecil (bahkan masih digendong), sehingga tidak tepat jika meng-qiyas-kan hukumnya untuk wanita dewasa. Dan beralasan “Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan” tidak tepat karena banyak ihtimal lainnya, seperti :
Karena kain itu bercorak, maka Nabi memberikannya kepada anak kecil karena mereka belum mukallaf & tidak terkena hukum berhias.

7. Membolehkan motif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis pada pakaian akhwat akan membuka pintu tabarruj, sedangkan agama kita mengenal kaidah Saddu adz-Dzari’ah.

Mohon tarjih & nasehat ustadz dalam masalah ini dan mohon penjelasan bagaimana batasan ‘urf yang bisa digunakan dalam masalah pakaian muslimah ini?
Demikian pertanyaan ini kami buat sejelas-jelasnya. Besar harapan kami ustadz bersedia menjawab pertanyaan ini.
Jazakumullohu khoiron.

Ummu Shofiyyah [mailto:ummu.shofi@yahoo.com]

Jawab:


Bismillah. waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Yang ana yakini bahwa pakaian bermotif tidak boleh digunakan oleh wanita muslimah ketika dia keluar rumah, karena dia termasuk zinah (perhiasan), sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk tidak menampakkan perhiasan kecuali kepada mahram.


Sebagaimana yang sudah dimaklumi bahwa para muslimah diwajibkan untuk berhijab, dan berhijab ini lebih umum maknanya daripada sekedar berjilbab atau bercadar atau menutupi seluruh anggota tubuhnya.

Akan tetapi berhijab yang syar’i adalah seorang wanita menutupi seluruh tubuhnya serta perhiasannya, yang dengannya semua non mahram tidak bisa melihat sedikit pun dari tubuh dan perhiasannya.

Sekarang masalahnya, yang mana yang termasuk perhiasan?


Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hirasah Al-Fadhilah pada pembahasan ‘Hijab yang bersifat khusus’ menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) pada firman Allah Ta’ala,

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka,” (QS. An-Nur: 31) adalah semua yang dipakai berhias oleh wanita, selain dari asal penciptaannya (postur tubuhnya), atau dinamakan az-zinah al-muktasabah (hiasan yang bisa diusahakan).


Maksudnya: Tubuh wanita adalah perhiasan akan tetapi tidak bisa diusahakan adanya, karena memang asal penciptaannya seperti itu.


Selain dari tubuhnya, yang juga diperintahkan untuk disembunyikan adalah perhiasan yang bisa diusahakan, yaitu segala sesuatu yang menarik pandangan orang selain dari anggota tubuhnya. Dan para ulama memberikan batasan dari zinah (perhiasan) adalah semua perkara yang menarik perhatian orang untuk melihatnya.

Jika ada yang bertanya: Bukankah pakaian luar (walaupun berwarna hitam) juga tetap dilihat oleh orang?


Jawab: Betul, karenanya seorang wanita dianjurkan untuk tidak sering keluar rumah agar pakaian luarnya pun tidak terlihat oleh orang lain.
Perlu diketahui bahwa pakaian luar asalnya termasuk perhiasan yang dilarang untuk diperlihatkan. Hanya saja berhubung terkadang wanita butuh keluar rumah karena ada keperluan maka pakaian luar pun Allah kecualikan dari hukum di atas dengan firman-Nya, “Kecuali yang nampak dari (perhiasan)nya.”

Jadi pembolehan menampakkan pakaian luar termasuk hukum dharurat, karena wanita kadang diizinkan keluar sementara tidak mungkin dia keluar tanpa berpakaian.
Termasuk dalam ayat ini adalah ketika tanpa disengaja pakaian luarnya tersingkap sehingga terlihat pakaian dalamnya (maksudnya rumah yang ada dibalik jubah atau jilbabnya), maka ini termasuk dalam ayat, “Kecuali yang nampak darinya,” yakni yang terlihat dalam keadaan tidak sengaja, bukan disengaja.

Kesimpulannya:

Kalau para ulama menghukumi pakaian luar termasuk perhiasan yang harus ditutup, sementara dia hanya diizinkan untuk dinampakkan karena idhthirar (keterpaksaan/tidak ada pilihan lain), maka bagaimana bisa seseorang menambahkan lagi hiasan (apapun motif dan coraknya) padanya yang menjadikan orang lain tambah tertarik untuk melihatnya.

Tentunya perbuatan ini termasuk dari perbuatan yang terlarang karena menjadikan jilbab luarnya (yang asalnya boleh dinampakkan secara dharurat) menjadi perhiasan yang tidak boleh dinampakkan.

Tambahan:


Melihat keterangan makna zinah (perhiasan) di atas, maka termasuk perhiasan yang harus disembunyikan oleh para wanita adalah: Tas atau dompetnya yang bisa menarik perhatian, sandal atau sepatu yang bentuk dan motifnya bisa menarik perhatian, kaus kaki atau kaus tangan yang bermotif, dan seterusnya. Wallahu Ta’ala a’lam.

Adapun dalil-dalil yang dibawakan oleh pihak yang membolehkan jilbab/jubah bermotif, maka jawabannya sebagai berikut berdasarkan nomor dalil:


1. Ucapan ini mengharuskan membolehkan semua pakaian yang haram boleh dipakai kalau memang pakaian itu banyak dipakai oleh orang lain. Kami katakan: Kenapa tidak sekalian melepaskan jilbab, toh yang tidak berjilbab lebih banyak di negeri ini dibandingkan yang berjilbab.


Kalau dia berkata: Pakaian masyarakat juga tetap harus mengikuti aturan syariat.
Kami katakan: Inilah yang kami inginkan. Walaupun pakaian bermotif bagi wanita ini adalah hal yang tersebar di negeri ini, akan tetapi ada syariat yang melarang wanita untuk menampakkan perhiasan. Dan sudah dijelaskan bahwa pakaian bermotif termasuk dari perhiasan. Wallahul muwaffiq.

2. Adapun hadits Ummu Khalid, maka seperti yang anti sebutkan bahwa Ummu Khalid ketika itu masih anak-anak sehingga diperbolehkan untuknya apa yang tidak diperbolehkan untuk wanita dewasa. Karenanya tidak bisa dikatakan bahwa beliau tidak melatih dan membiasakan anak kecil untuk bermaksiat karena itu bukanlah maksiat bagi dirinya.


Apakah dikatakan Nabi -alaihishshalatu wassalam- membiasakan anak kecil berbuat maksiat atau atau dikatakan beliau mengundurkan penjelasan ketika dibutuhkan, tatkala beliau membiarkan dua anak kecil memukul rebana sambil bernyanyi di hari id?
Apakah dikatakan Nabi -alaihishshalatu wassalam- membiasakan anak kecil berbuat maksiat atau atau dikatakan beliau mengundurkan penjelasan ketika dibutuhkan, tatkala beliau mengizinkan Aisyah bermain boneka berbentuk makhluk hidup?
Hasya wa kalla, sekali-kali tidak.


Jika dia mengatakan: Pembolehan anak kecil menyanyi di hari id dan bermain boneka ada dalil yang membolehkannya. Maka kami katakan: Memakai pakaian bermotif bagi anak kecilpun ada dalil yang membolehkan. Karenanya masalahnya jangan dicampuradukkan.

3.Haditsnya diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-Hajj, Bab: Para wanita tawaf dengan para lelaki, no. hadits 1618 (cet. Dar Al-Hadits), dari Atha’ dia berkata:


وَكُنْتُ آتِي عَائِشَةَ أَنَا وَعُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهِيَ مُجَاوِرَةٌ فِي جَوْفِ ثَبِيرٍ قُلْتُ وَمَا حِجَابُهَا قَالَ هِيَ فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ لَهَا غِشَاءٌ وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذَلِكَ وَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا مُوَرَّدًا

“Dan aku bersama ‘Ubaid bin ‘Umair pernah menemui ‘Aisyah radliallahu ‘anha yang sedang berada disisi gunung Tsabir. Aku (Ibnu Juraij) bertanya: “Hijabnya apa? Ia menjawab: “Dia berada di dalam sebuah tenda kecil. Tenda itu memiliki penutup dan tidak ada pembatas antara kami dan beliau selain penutup itu, dan aku melihat beliau mengenakan gamis berwarna mawar”.

Sudah dimaklumi bersama bahwa seorang salafi tidaklah memahami sebuah hadits hanya berdasarkan terjemahannya, akan tetapi dia diharuskan untuk merujuk kepada syarah para ulama terhadap hadits tersebut.


Dan kelihatannya kesalahpahaman mereka memahami hadits ini untuk membolehkan pakaian bermotif juga lahir karena mereka hanya berlandaskan pada terjemahan biasa dan tidak merujuk kepada ucapan para ulama terhadap hadits ini.


Kami katakan: Tidak ada sedikit pun sisi pendalilan dalam kisah bagi yang membolehkan pakaian yang bermitif. Ini bisa ditinjau dari beberapa sisi:


1. Makna kalimat dir’an muwarradan dalam kisah di atas bukanlah jubah bermotif mawar sebagaimana yang diterjemahkan oleh sebagian penerjemah. Akan tetapi maknanya sebagaimana yang Al-Hafizh Ibnu Hajar terangkan, “Warnanya warna mawar,” yakni berwarna merah.


Karenanya terjemahan yang anti sebutkan bahwa: [Ummul Mukminin 'Aisyah rodhiyallahu 'anha pernah mengenakan pakaian berwarna merah dengan "corak mawar" ketika sedang melakukan ihrom di Makkah] adalah tidak tepat. Lagi pula kisah ini tidak terjadi di Makkah akan tetapi terjadi di bukit dekat Muzdalifah.


2. Al-Hafizh menyebutkan lafazh ucapan Atha’ dalam riwayat Abdurrazzaq, “Pakaian yang berwarna, dan ketika itu saya masih kecil.” Al-Hafizh berkata, “Maka Atha’ menjelaskan sebab dia bisa melihat Aisyah,” yakni: Atha’ bisa melihat pakaian Aisyah dan Aisyah mengizinkan dia melihatnya karena Atha` waktu itu masih kecil.

Dan tidak mengapa seorang wanita menampakkan perhiasannya kepada anak kecil. Itupun kita katakan Aisyah sengaja menampakkannya, akan tetapi yang Nampak beliau tidak sengaja menampakkannya, dengan dalil adanya hijab di antara mereka.


3. Al-Hafizh juga menambahkan, “Ada kemungkinan dia tidak sengaja melihat baju yang beliau kenakan.” Dan ketidaksengajaan tidak boleh dijadikan dalil pembolehan sesuatu yang dikerjakan dengan sengaja.
(Fathul Bari: 3/545, cet. Dar Al-Hadits)

4. Bagaimana bisa ucapan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin ini dijadikan pendukung bagi yang membolehkan wanita memakai pakaian bermotif, sementara ucapan beliau tegas sekali melarangnya. Beliau mengatakan, “Apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah yang ditanyakan, maka kami mengatakan bahwa hukum asal pakaian itu dibolehkan, akan tetapi apabila terdapat hiasan- hiasan bordir itu menarik perhatian bagi yang melihatnya, maka kami melarangnya bukan karena pakaian itu haram, tetapi karena pakaian itu menimbulkan fitnah.”

5. Kami tidak tahu fatwa Syaikh Ali Hasan tersebut, tapi kalau memang beliau mengataka bahwa batasan perhiasan adalah tergantung ‘urf masing-masing daerah. Maka tidak ada masalah, kita katakan: Renda atau corak pada bordir dan semacamnya menurut urf orang Indonesia adalah hiasan. Silakan tanya kepada siapa saja yang ingin mengenakan/menambahkan bordiran pada pakaiannya, apa tujuannya? Kira-kira apa tanggapan para wanita awam yang punya bordiran/motif pada pakaiannya tatkala dia disuruh untuk menghilangkan/membuang bordiran/motif itu?


Jawabannya tentu: Saya pasang itu untuk memperindah pakaian, dan saya tidak mau menghilangkannya karena akan memperjelek pakaian atau akan membuatnya kurang menarik.
Bukankah sesuatu yang indah dan menarik perhatian pada wanita termasuk zinah (perhiasan) syar’i yang harus disembunyikan???

6. Pada kitab Shahih Fiqhus Sunnah cet. Al-Maktabah At-Taufiqiah, pembahasan ini terdapat pada jilid 3 hal. 33-34.
Di sini Abu Malik Kamal -jazahullahu khairan- hanya menyebutkan masalah bolehkah wanita memakai pakaian selain warna hitam?


Itupun di akhir pembahasan beliau menyebutkan bahwa yang dibolehkan hanya yang satu warna polos. Adapun yang terdiri dari dua warna atau lebih dalam satu kain maka itu termasuk pakaian yang dilarang karena akan membentuk suatu motif.


Apa yang beliau sebutkan ini sejalan dengan nukilan yang anti sebutkan dari Amr bin Abdil Mun’im Salim, “Hendaklah pakaian tersebut tidak bercorak (bermotif) atau bergambar atau berwarna warni lebih dari satu warna dan dibordir. Semua itu termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan oleh kaum wanita di hadapan lelaki yang bukan mahromnya.”
Dan kami sependapat dengan mereka berdua di atas, berdasarkan dalil-dalil yang mereka bawakan.


Jadi penulis tidak menyinggung masalah pakaian bermotif atau berenda dan semacamnya. Tapi kelaziman dari definisi zinah (perhiasan) yang dia sebutkan, adalah dia harus menggolongkan renda/bordiran termasuk zinah yang harus untuk ditutup. Karena dia berkata ketika menafsirkan ayat 31 dari surah An-Nur, “Perhiasan di sini secara umum mencakup pakaian luar jika pakaian luar itu dihiasai dan menarik para lelaki untuk melihatnya.”
Bukankah ini kenyataan yang terjadi pada mereka yang memakai pakaian bermotif/berenda? Mata lelaki (yang ngaji maupun yang tidak) bisa tertarik untuk melihatnya -kecuali yang dirahmati oleh Rabbnya-.


Kemudian di akhir pembahasan beliau (Abu Malik) menyebutkan, “Apa yang telah kami bahas (berupa pembolehan memakai pakaian berwarna bagi wanita, pent.) tidak menghalangi untuk kita mengatakan bahwa yang pakaian yang paling utama dan lebih menutupi tubuh bagi wanita adalah yang berwarna hitam.”
Maka wahai muslimah yang mengharapkan keberuntungan dan pahala yang besar, apa yang menghalangi kalian untuk mengamalkan yang paling utama? Kenapa justru mengamalkan yang kurang utama dan meninggalkan yang lebih utama, hanya karena tidak enak dihadapan manusia??

Tambahan: Masalah warna pakaian ini, walaupun pada dasarnya wanita bisa memakai pakaian berwarna (sekali lagi bukan bermotif atau bordiran), maka di zaman ini apakah ada alim yang faham kaidah saddu adz-dzariah (menutup wasilah maksiat) yang akan mengatakan: Bolah seorang wanita memakai pakaian berwarna pink?


Padahal pink ini sudah identik dengan keindahan dan wanita. Bukankah kalau kita menerapkan ucapan Syaikh Ali Hasan di atas, pakaian pink ini juga termasuk zinah (perhiasan) yang harus ditutup?


Maka demikian pula yang kami katakan pada warna-warna lainnya. Kami katakan sebagaimana apa yang Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin katakan bahwa walaupun asalnya adalah mubah tapi dia bisa dilarang untuk dipakai tatkala dia dianggap sebagai perhiasan, wallahu a’lam.

7. Apa maksudnya ‘dengan berpakaian motif kita bisa tersamar dari pandangan’? Apa maksudnya dengan pakaian seperti itu kita bisa berbaur dengan masyarakat dan tidak tampak mencolok?


Kalau iya, kembali kami katakan: Kalau lebih tidak mau mencolok adalah dengan cara lepas jilbab, insya Allah tidak akan mencolok sama sekali.
Subhanallah, betapa anehnya pendalilan seperti ini. Bukankah Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah menegaskan bahwa pengikut beliau di akhir zaman akan dianggap asing (berbeda dari yang lainnya). Lantas kenapa engkau wahai muslimah ingin agar kamu tidak dianggap mencolok (asing) di mata manusia?

8. Kalau maksudnya dalil shahih lagi sharih itu harus berbunyi, “Wahai wanita mukminah, janganlah kalian memakai pakaian bermotif,” atau berbunyi, “Wanita mana saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah mengenakan pakaian berenda,” dan semacamnya.
Maka hanya orang-orang awam atau orang bodoh yang mencari dalil shahih lagi sharih -semacam ini- dalam semua permasalahan dalam Islam.


Dalil yang shahih lagi sharih bagi kami adalah ayat yang melarang wanita menampakkan perhiasannya. Dalil yang shahih lagi sharih bagi kami adalah dalil yang melarang wanita melalui kaum lelaki dengan memakai apa saja yang membuatnya menarik, baik itu parfum maupun pakaian bermotif. Bahkan pakaian bermotif ini lebih parah dari parfum, karena parfum hanya bisa dinikmati oleh orang yang ada di sekitar wanita itu, sementara pakaian yang menarik pandangan bisa dinikmati dan ditonton oleh orang yang berjarak 500 meter darinya (dengan menggunakan teropong tentunya).

Wallahu Ta’ala A’lam, wahuwa Yahdi ila sawa`is sabil.

Sumber:Al-Atsariyyah.com

baca selengkapnya » Fiqih Singkat Muslimah : Adab Berpakaian

Fiqih Singkat Muslimah : Adab Keluar Rumah

Adab Keluar Rumah

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Sakinah, Mutiara Kata, 12 – November – 2004, 09:41:10

Saudariku muslimah…

Telah termaktub dalam Al Qur’an, ayat yang berbunyi :

وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ

“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.”

Perintah untuk berdiam di dalam rumah ini datang dari Dzat Yang Maha Memiliki Hikmah, Dzat yang lebih tahu tentang perkara yang memberikan maslahat (kebaikan) bagi hamba-hamba-Nya.

Ketika Dia menetapkan wanita harus berdiam dan tinggal di rumahnya, Dia sama sekali tidak berbuat zalim kepada wanita, bahkan ketetapan-Nya itu sebagai tanda akan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya.

Saudariku muslimah…

Walaupun syariat menetapkan engkau harus tinggal di rumahmu, namun bila ada kepentingan darurat, dibolehkan bagimu keluar rumah dengan memperhatikan adab-adab berikut ini:

- Kenakanlah hijabmu yang syar’i.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanitanya kaum mukminin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu…” (Al-Ahzab: 59)

- Hindari memakai wangi-wangian.

Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ. وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا

“Setiap mata itu berzina. Bila seorang wanita memakai wewangian kemudian ia melewati majelis laki-laki (yang bukan mahramnya) maka wanita itu begini dan begitu.” (HR. At-Tirmidzi no. 2937, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, no. 2237)

Dalam riwayat Ahmad (4/414):

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِقَوْمٍ لِيَجِدُوْا رِيْحَهَا فَهيِ َ زَانِيَةٌ

“Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian ia melewati satu kaum agar mereka mencium wanginya, maka wanita itu pezina.” (Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’us Shahih, 4/311)


- Ketika berjalan, janganlah menggesek-gesekkan sandal/sepatumu dengan sengaja dan jangan pula menghentak-hentakkan kakimu agar terdengar suara gelang kaki yang engkau kenakan.

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ

“Dan janganlah mereka (para wanita) memukulkan kaki-kaki mereka ketika berjalan agar diketahui apa yang disembunyikan dari perhiasan mereka.” (An-Nur: 31)

- Jangan pula engkau berlenggak lenggok ketika berjalan sehingga mengundang pandangan lelaki.

Rasulmu Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah mengabarkan:

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita itu aurat maka bila ia keluar rumah syaitan menyambutnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1183, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 273, dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36)

Setan menjadikan pandangan lelaki tertuju kepada si wanita, menghias-hiasi dan mempercantiknya dalam pandangan lelaki sehingga mereka terfitnah dengan wanita tersebut.2

- Apabila engkau berjalan bersama saudaramu ataupun temanmu sesama wanita sementara di sana ada lelaki, maka tahanlah untuk berbicara, bukan karena suara wanita itu aurat namun karena kekhawatiran lelaki akan terfitnah ketika mendengar suara wanita.

Bila terpaksa berbicara dengan lelaki (yang bukan mahrammu), berbicaralah dengan wajar tanpa mendayu-dayu dan melembut-lembutkan suaramu.

Demikianlah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan dalam firman-Nya:

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا

“Maka janganlah kalian melembut-lembutkan suara3 ketika berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

- Apabila engkau telah menikah, minta izinlah kepada suamimu ketika keluar rumah sampaipun engkau hendak keluar untuk shalat di masjid.

Sebagaimana diisyaratkan permintaan izin ini dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا

“Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 873 dan Muslim no. 442)

- Bila jarak perjalanan yang ditempuh adalah jarak safar maka engkau harus didampingi mahrammu .

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ

“Tidak boleh seorang wanita safar kecuali bersama mahramnya.” (HR. Muslim no. 1341)

- Hindarilah dari berdesak-desakan dengan lelaki
- Berhiaslah dengan rasa malu.
- Tundukkanlah pandangan matamu, jangan melemparkannya ke kiri dan ke kanan kecuali bila ada kebutuhan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminat: Hendaklah mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka…” (An-Nur: 31)

Saudariku muslimah…

Demikianlah beberapa adab Islami yang sepatutnya engkau pegangi saat keluar dari rumahmu, sungguh kemuliaan kan kau raih bila senantiasa berpegang dengan adab yang diajarkan agamamu.

Sebaliknya kehinaan kan kau terima ketika ajaran agamamu engkau tinggalkan jauh di belakang punggungmu. Semoga Allah memberi taufik kepada kita untuk selalu mengikuti kebenaran dan berpegang teguh dengannya sampai tiba saatnya pertemuan dengan Allah. Amin…

1Lihat pembahasan tentang hijab dalam rubrik Wanita dalam Sorotan, Asy-Syariah/lembar Sakinah no. 08/1425 H/2004
2 Tuhfatul Ahwadzi , 4/283
3 Berbicara dengan mendayu-dayu sehingga membangkitkan syahwat lelaki yang mendengarnya sebagaimana seorang istri berbicara dengan suaminya. (Tafsir Ibnu Katsir , 3/491)

sumber : www.asysyariah.com

baca selengkapnya » Fiqih Singkat Muslimah : Adab Keluar Rumah

Sekedar Tahu Dakwah Salafy ya Begini Jadinya...

Kami sempat melakukanya diawal-awal kami mengenal dakhwah ahlus sunnah wal jama’ah karena kebodohan kami akan ilmu. kemudian kami ingin membagainya supaya ikhwan-akhwat bisa mengambil pelajaran dan mengingatkan mereka yang telah lama mengenal anugrah dakwah ahlus sunnah khususnya kami pribadi. Beberapa hal tersebut ada sepuluh berdasar pengalaman kami:

1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar.

2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain.

3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah.

4. Keras dan kaku dalam berdakwah.

5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar.

6. Menganggap orang diluar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh.

7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu.

8. Tidak serius belajar bahasa arab.

9. Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik.

10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang shalih serta tenggelam dengan kesibukan dunia.

Kemudian kami coba jabarkan satu-persatu.

1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar

Ketika awal-awal mengenal dakwah ahlus sunnah bisa jadi ada rasa bangga dan sombong bahwa ia telah mendapat hidayah dan merasa ia sudah selamat dunia-akherat. Padahal ini adalah Ini baru fase yaq’zah [keterbangunan], awal mengangkat jangkar kapal, baru akan mulai mengarungi ilmu, amal, dakwah dan bersabar diatasnya.

Maka, janganlah kita menganggap diri kita akan selamat dari dosa dan maksiat hanya karena baru mengenal dakwah ahlus sunnah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.[An-Najm: 32]

Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi rahimahullah menukil penafsiran Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat ini:

فَلَا تبرئوا أَنفسكُم من الذُّنُوب {هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى} من الْمعْصِيَة وَأصْلح

“Jangan kalian membebaskan diri kalian dari dosa dan Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa/takut dari maksiat dan membuat perbaikan” [Tanwirul Miqbaas min tafsiri Ibni Abbaas 1/447, Dar Kutubil ‘Ilmiyah, Libanon, Asy-Syamilah]

Seharusnya jika kita menisbatkan pada dakwah salafiyah maka ingatlah pesan salaf [pendahulu] kita yaitu sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu :

لو تعلمون ذنوبي ما وطئ عقبي اثنان، ولحثيتم التراب على رأسي، ولوددت أن الله غفر لي ذنبا من ذنوبي، وأني دعيت عبد الله بن روثة. أخرجه الحاكم وغيره.

Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada dua orang yang berjalan di belakangku dan sungguh kalian akan melemparkan tanah di atas kepalaku, dan aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil Abdullah bin Kotoran.” [HR.Hakim Al-Mustadrok 3/357 no 5382, shahih]

2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain

Semua ikhwan-akhwat baru “ngaji” pasti semangat menuntut ilmu, karena banyak ilmu agama yang selama ini mereka yakini kurang tepat dan mereka dapatkan jawabannya dalam manhaj dakwah salafiyah yang ilmiyah.

Akan tetapi ada yang terlalu semangat menuntut ilmu sampai lupa kewajibannya. Contoh kasus:

-ikhwan kuliah dikampus, ia diberi amanah oleh orang tuanya untuk belajar dikota A. Menyelesaikan studinya, pulang membawa gelar dan membahagiakan keduanya.

Kedua orang tua bersusah payah membiayainya. Akan tetapi ia sibuk belajar agama disana-disini dan lalai dari amanah orang tua yang WAJIB juga ditunaikan. Nilainya hancur dan terancam Drop Out.

Tentu saja orang tuanya bertanya-tanya dan malah menyalahkan dakwah salafiyah yang ia anut. Iapun tidak menjelaskan dengan baik-baik kepada kedua orang tuanya.

-seorang suami yang sibuk menuntut ilmu agama dan menelantarkan istri dan anaknya. Melakukan safar tholabul ilmi ke berbagai daerah, langsung membeli kitab-kitab yang banyak dan mahal. Padahal ia agak kesusahan dalam ekonomi dan tidak memberikan pengertian kepada istri dan anak-anaknya.

Kita seharusnya memperhatikan firman Allah:

وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An’am: 141]

Dan jika kita perhatikan, orang-orang seperti ini hanya [maaf] “panas-panas tahi ayam”. Semangat hanya beberapa bulan saja setelah itu kendor bahkan futur [malas dan jenuh].

3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah

Allah Ta’ala mengkhendaki kemudahan bagi hamba-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. [Al-Baqarah:185]

Sebagian ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” mungkin dikarenakan masih sedikitnya ilmu terlalu kaku menerapkan ilmu agama sehingga sehingga nampaknya islam adalah agama yang sulit dan tidak fleksibel. Contoh kasus:

-seorang akhwat ingin memakai cadar agar bisa menerapkan dan melestarikan sunnah agama islam. Akan tetapi semua keluarganya melarangnya bahkan keras karena nanti di sangka teroris dan lingkungan akhwat tersebut sangat aneh dengan cadar.

Ia sudah menjelaskan dengan baik-baik tetapi keluarganya yang sangat awam masih belum bisa menerima. Orang tuanya bahkan tidak ridha dan hubungan silaturahmi dengan keluarga menjadi terputus. Dalam kasus ini:

Apabila ia menyakini bahwa cadar hukumnya sunnah maka diterapkan kaidah:

درع المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat”

Jika ia memakai cadar maka mendatangkan mashlahat yaitu melaksanakan sunnah, jika ia tidak pakai cadar maka menolak mafsadat yaitu tidak ridhanya ortu dan putus silaturhami. Maka dengan kaidah ini ia wajib menolak mafsadat dengan tidak memakai cadar. Selain itu hukum wajib didahulukan dari hukum sunnah.

-begitu juga dengan kasus seorang akhwat kuliah diluar kota, ia harus safar tanpa mahram dan tidak tahan kuliah ikhtilat [bercampur-baur laki-laki dan perempuan], maka ia memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Sehingga diminta pulang oleh orang tuanya.

Akan tetapi ditempatnya tidak ada kajian dan mejelis ilmu sehingga ia menjadi futur karena ia baru-baru “ngaji”. Sedangkan di kota tempat ia kuliah ada banyak majelis ilmu. Maka keputusan ia berhenti kuliah kurang tepat.

Dan banyak kasus yang lain. Intinya kita harus banyak-banyak berdiskusi dengan ustadz dan orang yang berilmu jika mendapatkan seuatu dalam agama yang berat dan sesak terasa jika kita jalankan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ

“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” [Ali Imron:159]

4. Keras dan kaku dalam berdakwah

Mungkin ini disebabkan karena terlalu semangat ingin meyebarkan dakwah manhaj salafiyah. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu tentang tata-cara berdakwah, dakwah terkesan kaku dan keras. Contoh kasus:

-seorang pemuda yang baru mengenal dakwah, ketika pulang langsung menceramahi orang tuanya dan kakeknya. Dan berkata “ini haram”, itu bid’ah, ini syirik”. Tentunya saja kakeknya akan berkata, “kamu anak ingusan kemaren sore, baru saya ganti popokmu, sudah berani ceramahi saya?”.

-seorang ikhwan yang baru tahu hukum tahlilan setelah kematian adalah bid’ah. kemudian ia datang kekumpulan orang yang melakukannya dalam suasana duka. Ia sampaikan ke majelis tersebut bahwa ini bid’ah.maka bisa jadi ia pulang tinggal nama saja.

-seorang akhwat yang ingin mendakwahkan temannya yang masih sangat awam atau baru masuk islam. Ia langsung mengambil tema tentang cadar, jenggot, isbal, bid’ah, hadist tentang perpecahan dan firqoh. Ia juga langsung membicarakan bahwa aliran ini sesat, tokoh ini sesat dan sebagainya. Seharusnya ia mengambil tema tauhid dan keindahan serta kemudahan dalam islam.

Seharusnya berdakwah dengan cara yang lembut serta penuh hikmah. Dan berdakwah ada tingkatan, cara dan metodenya. Berpegang pada prinsip yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan:

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69]

5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar

Karena terlalu semangat berdakwah akan tetapi tanpa disertai ilmu. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat baru “ngaji” sering terjatuh dalam kebiasaan suka berdebat.

Dan parahnya, ia baru hanya tahu hukumnya saja, tidak mengetahui dan menghapal dalil serta tidak tahu metode istidlal [mengambil dalil]. Jadi yang ada hanya berdebat saling “ngotot” tentang hukum sesuatu.

apalagi mengeluarkan katakata yang kasar sampai mencaci-maki dan menyumpah-serapah.

Memang ada yang sudah hapal dalilnya dan mengetahui metode istidlal , akan tetapi ia tidak membaca situasi dakwah, siapa objek dakwah, waktu berdakwah ataupun posisi dia saat mendakwahkan.

Dan ada juga yang berdebat karena ingin menunjukkan bahwa ia ilmunya tinggi, banyak menghapal ayat dan hadist, mengetahui ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya.

Sekedar Tahu Dakwah Salafy ya Begini Jadinya...- Memang saat itu kita menang dalam berdebat karena manhaj salafiyah ilmiyah. Akan tetapi tujuan berdakwah dan nasehat tidak sampai. Orang tersebut sudah dongkol atau sakit hati karena kita berdebat dengan cara yang kurang baik bahkan menggunakan kata-kata yang kasar.

Hatinya tidak terima karena merasa sudah dipermalukan, akibatnya ia gengsi menerima dakwah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،

“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. [HR. Muslim 55/95]

Yang dimaksud dengan nasehat adalah mengkhendaki kebaikan. Jadi bukan tujuannya menunjukan kehebatan berdalil dan menang dalam berdebat.

Mengenai suka berdebat para nabi dan salafus shalih sudah memperingatkan kita tentang bahayanya. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berkata kepada anaknya:

يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ “

Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi, cetakan pertama, Darul Rusdi Riyadh, Asy-syamilah]

Mengenai berkata-kata kasar, maka ini tidak layak keluar dari lisan seseorang yang mengaku menisbatkan diri pada manhaj salaf. Renungkan firman Allah Ta’ala:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ْ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى


“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. [At-Thoha:43-44]

Kepada orang selevel Fir’aun saja harus berdakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi kita akan mendakwahkan saudara kita seiman?. Maka gunakanlah kata-kata yang lembut dan bijaksana lagi penuh hikmah.

6. Menganggap orang diluar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh

Ikhwan-akhwat baru “ngaji” yang sedang semangat-semangatnya berdakwah ada sebagian yang melihat orang diluar dakwah ahlus sunnah adalah saingan mereka. Padahal mereka adalah sasaran dakwah juga bukan saingan dakwah.

Mereka adalah saudara seiman kita. Mereka berhak medapatkan hak-hak persaudaraan dalam islam.

Seharusnya kita lebih mengasihi dan menyayangi mereka karena mereka punya semangat membela dan menyebarkan islam hanya saja mereka sudah terlanjur salah dalam memahami Islam. Mereka tidak seberuntung kita medapatkan anugrah dakwah ahlus sunnah. Contohnya:

-dikampus, ketika bertemu dengan teman-teman yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah, maka mukanya sangar, cemberut, tidak mau menyapa dan tidak membalas salam.

Tidak mau duduk bermejelis dengan mereka dan merasakan suasana kekeluargaan islami. Dan parahnya, malah dengan orang kafir mereka lebih akrab dan hangat.

Ketahuilah mereka saudara-sudara seiman kita yang lebih patut mendapat perhatian dan dakwah dari kita. Tidak heran jika saudara-saudara kita mengatakan:
“kok kita sesama orang islam saling gontok-gontokan, tapi berbaikan dengan orang kafir”

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” [Al-Hujurat:10]

-dikampung, ada ustadz /kiayi haji/ tuan guru/ tokoh masyarahat yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang seolah-olah meremehkan mereka, menganggap mereka aliran sesat, ilmunya salah dan ngawur, Tidak menghormati mereka.

Padahal belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi mereka amalnya sedikit yang benar tapi sangat ikhlas, mengalahkan amal kita yang –sekiranya benar insyaAllah- tapi tidak ikhlas dan dipenuhi dengan riya’ dan dengan rasa sombong mampu beramal.

Seharusnya kita memposisikan mereka sesuai dengan posisi mereka, menghormati mereka dan memilih kata-kata dakwah yang baik dan tidak terkesan menggurui. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memerintahkan agar kita memposisikan manusia sesuai dengan kedudukuannya masing-masing. Salah satu penerapan beliau adalah surat beliau kepada raja Romawi Heraklius:

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada pembesar/ tokoh besar Romawi

Kemudian jika mereka tidak menerima dakwah kita maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang langsung mengangapnya sebagai musuh.

Mereka akan merusak agama islam, mencap sebagai ahli bid’ah dan syirik dan tahu kaidah pembid’ahan dan pengkafiran. Padahal mereka tetap saudara kita dan masih berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا تحاسدوا ولا تَناجَشُوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ,وكونوا عباد الله إخواناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُو المسلمِ: لا يَظْلِمُهُ ولا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبُهُ ولا يَحْقِرُهُ

“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya.[HR. Muslim no. 2564]

Jika mereka tidak menerima, maka tugas kita hanya menyampaikan saja. Mereka terima Alhamdulillah , jika tidak diterima jangan dipaksa dan dimusuhi. Karena kita hanya memberikan hidayah ‘ilmu wal bayan berupa penjelasan, sedangkan hidayah taufiq hanya ditangan Allah. Seharusnya kita mendoakan mereka semoga mandapatkan hidayah, bukan dimusuhi.

Lihatlah tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala pergi ke Thaif untuk berdakwah sekaligus meminta perlindungan kepada mereka dari tekanan kafir Quraisy setelah meninggalnya paman beliau Abu Thalib.

Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dengan lemparan batu, caci-maki dan ejekan. Tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sampai berdarah-darah.

Perasaan beliau makin sedih karena saat itu tahun-tahun ditinggal juga oleh istrinya Khadijah radhiallahu ‘anha, pendukung dakwah beliau. Kemudian datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam memberi tahu bahwa malaikat penjaga bukit siap diperintah jika beliau ingin menimpakan bukit tersebut kepada orang-orang Thaif. Malaikat tersebut berkata:

يَا مُحَمَّدُ، فَقَالَ، ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْن

“Wahai muhammad, terserah kepada engkau, jika engkau mnghendaki aku menghimpitkan kedua bukit itu kepada mereka”

Tapi apa yang keluar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ? doa kepada penduduk Thoif. Beliau berdoa:

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya dengan apa pun” [kisah yang panjang bisa dilihat di shahih Bukhari no. 3231]

Subhanallah, kita sangat jauh dari cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah. Dan terbukti doa beliau mustajab. Penduduk thoif tidak lama menjadi salah satu pembela islam dan mengikuti peperangan jihad membela islam.

Mengenai berwajah sangar, seram dan cemberut terus seolah-olah prajurit perang yang marah.

Mungkin ini salah persepsi sebagian ikhwan-akhwat karena mereka sering dan terlalu banyak melihat syirik, bid’ah dan maksiat dimana-mana. Seolah-olah menunjukan mereka ingin mengingkari semuanya.

Tetapi Islam tidak mengajarkan demikian, seorang muslim berprinsip “Berwajah ceria bersama manusia dan berlinang air mata akan dosanya saat sendiri bermunajat kepada rabb-nya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”. [HR. Muslim no. 2626]

7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu

Ada sebagian ikhwan-akhwat yang terlalu tenggelam dan sibuk membicarakan masalah perpecahan dan firqoh. Memang kita harus mempelajarinya agar tahu mana yang selamat, akan tetapi kita jangan terlalu menyibukkan diri membicarakan kelompok-kelompok tersebut.

Tema yang terlalu sering diangkat dalam kumpul-kumpul,majelis dan pengajian adalah sesatnya kelompok ini, jangan ikut kajian dengan kelompok itu, menerapkan hajr/memboikot disana-sini tanpa tahu kaidah meng-hajr.

Akhirnya sibuk dan lalai mempelajari tauhid, aqidah, akhlak, fiqh keseharian dan bahasa arab.

Hendaknya kita lebih memprioritaskan pembicaraan tentang tauhid dan akidah. Itulah seruan pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin berdakwah. Beliau bersabda kepada Muadz yang diutus ke Yaman:

إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله ” – وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله

Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli kitab maka hendaklah dakwah yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka adalah syahadat Laa ila Illallah , dalam riwayat yang lain: supaya mereka mentauhidkan Allah”. [Muttafaqun ‘alaih, lihat kitab tauhid syaikh Muhhammad bin Abdul Wahhab]

Selain membicarakan kelompok, sebagian ikhwan-akhwat juga sibuk membicarakan kesalahan dan kejelekan ustadz/tokoh tertentu.

Mencap sebagai ahli bid’ah tanpa tahu kaidah pembid’ahan atau mencap kafir tanpa tahu kaidah pengkafiran.

Tidak mau ikut pengajian ustadz fulan. Bahkan sampai tingkat ulama. Syaikh fulan terjatuh dalam aqidah murji’ah, syaikh fulan ikut merestui kelompok sesat, syaikh fulan sudah ditahzir/diperingati oleh syaikh fulan. Parahnya, info yang sampai ke dia hanya qiila wa qoola, berita-berita yang tidak jelas dan belum tahu apakah sudah tabayyun/klarifikasi atau belum. Akhirnya sibuk mencari-cari aib orang lain. Membicarakan kesalahan orang lain.

Seharusnya kita lebih banyak mencari kesalahan kita, merenungi dosa-dosa kita yang banyak. Seharunya kita ingat perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

يبصر أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع – في عين نفسه

Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” [HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih]

Ustadz/ tokoh tersebut jika memang ia salah. Belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi amal mereka sedikit yang benar tapi sangat ikhlas. Sedangkan kita, seandainya banyak amal kita yang sesuai sunnah tapi tidak ikhlas, dipenuhi riya’ dan rasa sombong mampu beramal banyak.

Ajaran islam mengajarkan agar kita tawaddhu’, rendah hati dan mengaggap orang lain lebih baik dari kita.

‘Abdullah Al Muzani rahimahullah berkata,

إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو أصغر منك.

“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.” [ Hilyatul Awliya’ 2/226, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Asy-Syamilah]

8. Tidak serius belajar bahasa arab

Mungkin ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” sekalipun sudah tahu bahwa hukum mempelajari bahasa Arab, yaitu fardhu. Ada juga yang merinci fardhu ‘ain bagi mereka yang mampu belajar dan bagi orang-orang yang akan banyak berbicara agama seperti calon ustadz dan aktifis dakwah.

Kemudian fardhu kifayah bagi mereka yang tidak mampu otaknya seperti orang yang sangat tua. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:

“Disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari ‘Isa bin Yunus dari Tsaur, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khottob menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya), “Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.” [Iqtidho’Shirotal Mustaqim hal 527 jilid I, tahqiq syaikh Nashir Abdul karim Al–‘Aql, Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof]

Bahasa Arab sangat penting, karena sarana memahami islam. Sehingga kita bisa mudah menghapal Al-quran dan hadist, mudah tersentuh dengan Al-Quran, memahami buku-buku ulama. Hanya orang yang menguasai bahasa arab yang bisa merasakan manisnya menuntut ilmu.

Tetapi ada sebagian ikhwan-akhwat yang lalai belajar bahasa Arab, tidak serius dan ada juga yang menyerah belajar bahasa arab. Hal ini membuat mereka kurang kokoh dalam beragama. Dan setelah diperhatikan, Ikhwan-akhwat yang kemudian kendor menunut ilmu dan hilang semangat belajar agama bahkan futur adalah mereka yang tidak serius belajar bahasa arab.

Prosesnya mungkin seperti ini: pertama mereka semangat ikut kajian disana-disini, kemudian mulai bosan dengan kajian yang temanya itu-itu saja. Dan berpikir materi seperti ini bisa dibaca dirumah dan diinternet.

Akhirnya hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang shalih. Kemudian dengan membacapun agak bosan [inipun kalau ia rajin membaca], Karena buku-buku terjemahan dan artikel materinya sangat terbatas.

Akhirnya ia malah disibukkan dengan hal-hal yang kurang bermanfaat seperti facebook dan internet terus, ngobrol-ngobrol tentang akhwat padahal belum mau nikah dan lain-lain. Bahkan terjerumus dalam hal-hal yang haram. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata:

“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa Asy Syafi, hal. 109).

Berbeda dengan mereka yang mengusai bahasa arab.

Mereka semakin tertantang untuk belajar banyak ilmu dan tingkatan ilmu yang lebih tinggi seperti ilmu mustholah hadist, kaidah fiqh, ushul fiqh, mendengarkan muhadharah/ceramah syaikh dan menelaah kitab-kitab ulama yang tebal dan berjilid-jilid.

Sehingga mereka selalu disibukkan dengan ilmu, dakwah dan amal. Merasakan kebahagian dan manisnya ilmu syar’i.

9. Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik

Lingkungan dan teman sangat penting, karena sangat berpengaruh dengan diri kita. Ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” biasanya masih mudah goyang dan tidak stabil, karena diperlukan teman-teman yang shalih dan baik.

Bisa dilakukan dengan tinggal di wisma atau kost-kostan khusus ikhwan dan khusus akhwat. Atau jika memungkinkan pindah kelingkungan sekitar pondok atau perumahan yang banyak ikhwannya. Atau jika tidak bisa, sering-sering silaturahmi ke ikhwan-akhwat yang shalih dan shalihah serta berkumpul bersama mereka. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” [ At Taubah: 119]

Jika tidak, maka sudah sering terdengar cerita banyak ikhwan-akhwat yang dulunya semangat “ngaji” sekarang sudah futur dan hilang dari peredaran dakwah.Bahkan lingkungan dan teman yang baik dibutuhkan bagi semua orang.

Mengenai teman yang baik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” [HR. Bukhari no. 2101]

Perlu diperhatikan bahwa hati manusia lemah, apalagi jika sendiri. Perlu dukungan, saling menasehati antarsesama.

Selevel Nabi Musa ‘alaihissalam saja memohon kepada Allah agar punya teman seperjuangan yang bisa membantunya dan membenarkan perkataannya, yaitu Nabi Harun alaihissalam .

Beliau berkata dalam Al-Quran:

وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ

“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku , maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku”.[Al-Qashash:34]

10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang shalih serta tengelam dengan kesibukan dunia

Penyebab terbesar futur adalah point ini. Majelis ilmu adalah tempat mere-charge keimanan kita, setelah terkikis dengan banyaknya fitnah dunia yang kita hadapi.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya”. [HR. Muslim nomor 6793]

Dan orang-orang shalih adalah pendukung dan penguat iman kita dengan saling menasehati. Dimana dengan berteman dengan mereka, maka kita akan sering mengingat akherat dan menjadi tegar kembali dalam beragama. sebagaimana Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata,

وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض أتيناه، فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله وينقلب انشراحاً وقوة ويقيناً وطمأنينة

“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang. [Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Asy-Syamilah]

Tidak sedikit kita mendengar berita:

-ikhwan yang dulunya semangat mengaji dan menjadi panitia-panitia kajian, kemudian bekerja di perusahaan kota A dengan gaji yang menggiurkan sekarang sudah potong jenggot, isbal, berpacaran dan seolah-olah menjauh dari ikhwan-ikhwan jika di sms atau ditelpon.

-akhwat yang dulunya semangat menuntut ilmu,memakai jilbab lebar, memakai cadar bahkan purdah, kemudian melanjutkan studi S2 atau S3 dikota B atau diluar negeri, kemudian terdengar kabar bahwa ia sudah memakai jilbab ala kadar yang kecil “atas mekkah bawah amerikah”.

Terkadang kita tidak percaya dengan berita-berita seperti ini.

Bagaimana mungkin dulu ia adalah guru bahasa arab, imam masjid dan jadi rujukan pertanyaan, sekarang menjadi seperti itu. semua ini bisa jadi karena tenggelam dengan kesibukan dunia dan terkikis fitnah secara perlahan-lahan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkannya seperti tikar, beliau bersabda:

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا

“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas”. [HR.Muslim no 144]

Demikian yang dapat kami jabarkan. Dan dampak dari beberapa kesalahan tersebut adalah:

  1. Merasakan kesempitan hidup setelah mengenal dakwah ahlus sunnah
  2. Dakwah tidak diterima oleh orang lain
  3. Merusak nama dakwah salafiyah ahlus sunnah dan memberi kesan negatif
  4. Memecah belah persatuan umat Islam

Kemudian marilah kita banyak-banyak berdoa agar diberi istiqomah beragama yang merupakan anugrah terbesar.

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik” artinya: ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu’ [HR. Tirmidzi no 2066. Ia berkata: “Hadits Hasan”, dishahihkan oleh Adz-Dahabi]

Sumber:alhijroh.com

baca selengkapnya » Sekedar Tahu Dakwah Salafy ya Begini Jadinya...