Bid'ah ( Mengupas Tuntas Masalah Bid'ah dan Apa Itu Bid'ah!)




أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

وَفِي رِوَايَةٍ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ

وَفِي رِوَايَةِ النَّسَائِيِّ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HSR. Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhuma)


Menanggapi masalah bid'ah ini,sebenarnya tergantung seberapa besarkah iman seseorang muslim meyakini suatu dalil atau nash tersebut shahih atau tidak.
Jika seseorang tersebut tidak percaya akan adanya dan kesahihan hadits tentang bid'ah tersebut,maka ia akan melakukan suatu bid'ah sesuka hatinya.
Namun jika kita asalah seseorang yang beriman kepada Al-Qur'an dan sunnah,sudah menjadi kewajiban kita meyakini dan meninggalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita Muhammad salallohu'alaihi wassalam,karena kita umat ISLAM.
Sudah kewajiban kita sebagai umat Islam untuk selalu berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan sunnah rosulullohu'alaihi wassalam.

Sering kita mendengar seseorang mengatakan; Tahlilan bid'ah,Merayakan Maulid Nabi juga bid'ah apalagi membaca ayat Al-Qur'an diatas makam bid'ah juga,..
“dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bid’ah,”
“apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!”
“kalau memang maulidan bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga bid’ah.”

Kira-kira kalimat seperti inilah yang akan terlontar dari mulut sebagian kaum muslimin ketika mereka diingatkan bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah bid’ah yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.Semua ucapan ini dan yang senada dengannya lahir, mungkin karena hawa nafsu mereka dan mungkin juga karena kejahilan mereka tentang definisi bid’ah, batasannya dan nasib jelek yang akan menimpa pelakunya.

Karenanya berikut uraian tentang difinisi bid’ah dan bahayanya dari hadits Aisyah yang masyhur, semoga bisa meluruskan pemahaman kaum muslimin tentang bid’ah sehingga mereka mau meninggalkannya di atas ilmu, Allahumma amin.

Bid’ah dan Bahayanya



مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

وَفِي رِوَايَةٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.

Dalam satu riwayat,

Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.

*Takhrij Hadits:

Hadits ini dengan kedua lafadznya berasal dari hadits shahabiyah dan istri Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ‘A`isyah radhiallahu Ta’ala ‘anha.

Adapun lafadz pertama dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhary (2/959/2550-Dar Ibnu Katsir) dan Imam Muslim (3/1343/1718-Dar Ihya`ut Turots).

Dan lafadz kedua dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhary secara mu’allaq (2/753/2035) dan (6/2675/6918) dan Imam Muslim (3/1343/1718).

Dan juga hadits ini telah dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya (4594) dan Abu ‘Awanah (4/18) dengan sanad yang shohih dengan lafadz, “Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang tidak ada di dalamnya (urusan kami) maka dia tertolak”.

**Kosa Kata Hadits:

1. “Dalam urusan kami”, maksudnya dalam agama kami, sebagaimana dalam firman Allah –Ta’ala-, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi urusannya (Nabi) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.”. (QS. An-Nur: 63)
2. “Tertolak”, (Arab: roddun) yakni tertolak dan tidak teranggap.
[Lihat Bahjatun Nazhirin hal. 254 dan Syarhul Arba’in karya Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh]

***Komentar Para Ulama :

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

“Pondasi Islam dibangun di atas 3 hadits:
-Hadits “setiap amalan tergantung dengan niat”,
-Hadits ‘A`isyah “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak
-Dan Hadits An-Nu’man “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas””.

Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata,

“Ada empat hadits yang merupakan pondasi agama:
-Hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah dengan niatnya
-Hadits “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas
-Hadits “Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selam 40 hari
-Hadits “Barangsiapa yang berbuat dalam urusan kami apa-apa yang bukan darinya maka hal itu tertolak”.

Dan Abu ‘Ubaid rahimahullah berkata,

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan seluruh urusan akhirat dalam satu ucapan (yaitu) “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.

[Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam syarh hadits pertama]

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,

“Hadits ini adalah asas yang sangat agung dari asas-asas Islam, sebagaimana hadits “Setiap amalan hanyalah dengan niatnya” adalah parameter amalan secara batin maka demikian pula dia (hadits ini) adalah parameternya secara zhohir.
Maka jika setiap amalan yang tidak diharapkan dengannya wajah Allah –Ta’ala-, tidak ada pahala bagi pelakunya, maka demikian pula setiap amalan yang tidak berada di atas perintah Allah dan RasulNya maka amalannya tertolak atas pelakunya. Dan setiap perkara yang dimunculkan dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah dan RasulNya, maka dia bukan termasuk dari agama sama sekali”.

Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata dalam Bahjatun Nazhirin,

Hadits ini termasuk hadits-hadits yang Islam berputar di atasnya, maka wajib untuk menghafal dan menyebarkannya, karena dia adalah kaidah yang agung dalam membatalkan semua perkara baru dan bid’ah (dalam agama)”.

Dan beliau juga berkata,

“… maka hadits ini adalah asal dalam membatalkan pembagian bid’ah menjadi sayyi`ah (buruk) dan hasanah (terpuji)”.

Dan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhohullah berkata dalam Syarhul Arba’in,

“Hadits ini adalah hadits yang sangat agung dan diagungkan oleh para ulama, dan mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah asal untuk membantah semua perkara baru, bid’ah dan aturan yang menyelisihi syari’at”.

Dan beliau juga berkata dalam mensyarh kitab Fadhlul Islam karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab,

“Hadits ini dengan kedua lafadznya merupakan hujjah dan pokok yang sangat agung dalam membantah seluruh bid’ah dengan berbagai jenisnya, dan masing-masing dari dua lafadz ini adalah hujjah pada babnya masing-masing, yaitu:

a.Lafadz yang pertama (ancamannya) mencakup orang yang pertama kali mencetuskan bid’ah tersebut walaupun dia sendiri tidak beramal dengannya.

b.Adapun lafadz kedua (ancamannya) mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah tersebut walaupun bukan dia pencetus bid’ah itu pertama kali”. Selesai dengan beberapa perubahan.

****Syarh :

Setelah membaca komentar para ulama berkenaan dengan hadits ini, maka kita bisa mengatahui bahwa hadits ini dengan seluruh lafazhya merupakan ancaman bagi setiap pelaku bid’ah serta menunjukkan bahwa setiap bid’ah adalah tertolak dan tercela, tidak ada yang merupakan kebaikan. Dua pont inilah yang –insya Allah- kita akan bahas panjang lebar, akan tetapi sebelumnya kita perlu mengetahui definisi dari bid’ah itu sendiri agar permasalahan menjadi tambah jelas.
Maka kami katakan:

A.Definisi Bid’ah.



Bid’ah secara bahasa artinya memunculkan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya, sebagaimana dalam firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala-:

بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ

Allah membuat bid’ah terhadap langit dan bumi”.(QS. Al-Baqarah: 117 dan Al-An’am: 101)

Yakni Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya yang mendahului. Dan Allah -‘Azza wa Jalla- berfirman :

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah: “Aku bukanlah bid’ah dari para Rasul”. (QS. Al-Ahqaf: 9)

Yakni :
Saya bukanlah orang pertama yang datang dengan membawa risalah dari Allah kepada para hamba, akan tetapi telah mendahului saya banyak dari para Rasul.
Lihat: Lisanul ‘Arab (9/351-352)

Adapun secara istilah syari’at –dan definisi inilah yang dimaksudkan dalam nash-nash syari’at- bid’ah adalah sebagaimana yang didefinisikan oleh Al-Imam Asy-Syathiby dalam kitab Al-I’tishom (1/50):

طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ, تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ وَيُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ اللهَ سُبْحَانَهُ

Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua jalan/cara dalam agama yang diada-adakan, menyerupai syari’at dan dimaksudkan dalam pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanahuwata'ala”.

Penjelasan Definisi.



Setelah Imam Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan definisi di atas, beliau kemudian mengurai dan menjelaskan maksud dari definisi tersebut, yang kesimpulannya sebagai berikut:

1.Perkataan beliau “jalan/cara dalam agama”.

Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘A`isyah)

Dan urusan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tentunya adalah urusan agama karena pada urusan dunia beliau telah mengembalikannya kepada masing-masing orang, dalam sabdanya:

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ

Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. (HR. Bukhory)

Maka bid’ah adalah memunculkan perkara baru dalam agama dan tidak termasuk dari bid’ah apa-apa yang dimunculkan berupa perkara baru yang tidak diinginkannya dengannya masalah agama akan tetapi dimaksudkan dengannya untuk mewujudkan maslahat keduniaan, seperti pembangunan gedung-gedung, pembuatan alat-alat modern, berbagai jenis kendaraan dan berbagai macam bentuk pekerjaan yang semua hal ini tidak pernah ada zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah dalam tinjauan syari’at walaupun dianggap bid’ah dari sisi bahasa. Adapun hukum bid’ah dalam perkara kedunian (secara bahasa) maka tidak termasuk dalam larangan berbuat bid’ah dalam hadits di atas, oleh karena itulah para Shahabat radhiallahu ‘anhum mereka berluas-luasan dalam perkara dunia sesuai dengan maslahat yang dibutuhkan.

2.Perkatan beliau “yang diada-adakan”,yaitu sesungguhnya bid’ah adalah amalan yang tidak mempunyai landasan dalam syari’at yang menunjukkan atasnya sama sekali.

Adapun amalan-amalan yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syari’at secara umum –walaupun tidak ada dalil tentang amalan itu secara khusus- maka bukanlah bid’ah dalam agama.
Misalnya alat-alat tempur modern yang dimaksudkan sebagai persiapan memerangi orang-orang kafir , demikian pula ilmu-ilmu wasilah dalam agama ; seperti ilmu bahasa Arab (Nahwu Shorf dan selainnya) , ilmu tajwid , ilmu mustholahul hadits dan selainnya, demikian pula dengan pengumpulan mushaf di zaman Abu Bakar dan ‘Utsman radhiallahu ‘anhuma . Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah karena semuanya masuk ke dalam kaidah-kaidah syari’at secara umum.

3.Perkataan beliau “menyerupai syari’at”, yaitu bahwa bid’ah itu menyerupai cara-cara syari’at padahal hakikatnya tidak demikian, bahkan bid’ah bertolak belakang dengan syari’at dari beberapa sisi:

a.Meletakkan batasan-batasan tanpa dalil, seperti orang yang bernadzar untuk berpuasa dalam keadaan berdiri dan tidak akan duduk atau membatasi diri dengan hanya memakan makanan atau memakai pakaian tertentu.

b.Komitmen dengan kaifiat-kaifiat atau metode-metode tertentu yang tidak ada dalam agama, seperti berdzikir secara berjama’ah, menjadikan hari lahir Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sebagai hari raya dan yang semisalnya.

c. Komitmen dengan ibadah-ibadah tertentu pada waktu-waktu tertentu yang penentuan hal tersebut tidak ada di dalam syari’at, seperti komitmen untuk berpuasa pada pertengahan bulan Sya’ban dan sholat di malam harinya.

4.Perkataan beliau “dimaksudkan dalam pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah”.
Ini merupakan kesempurnaan dari definisi bid’ah, karena inilah maksud diadakannya bid’ah. Hal itu karena asal masuknya seseorang ke dalam bid’ah adalah adanya dorongan untuk konsentrasi dalam ibadah dan adanya targhib (motivasi berupa pahala) terhadapnya karena Allah -Ta’ala- berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Maka seakan-akan mubtadi’ (pelaku bid’ah) ini menganggap bahwa inilah maksud yang diinginkan (dengan bid’ahnya) dan tidak belum jelas baginya bahwa apa yang diletakkan oleh pembuat syari’at (Allah dan RasulNya) dalam perkara ini berupa aturan-atiran dan batasan-batasan sudah mencukupi.

B.Dalil-Dalil Akan Tercelanya Bid’ah Serta Akibat Buruk yang Akan Didapatkan Oleh Pelakunya.



1.Bid’ah merupakan sebab perpecahan.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia diwasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa”. (QS. Al-An’am: 153)

Berkata Mujahid rahimahullah dalam menafsirkan makna “jalan-jalan” :
“Bid’ah-bid’ah dan syahwat”. (Riwayat Ad-Darimy no. 203)

2.Bid’ah adalah kesesatan dan mengantarkan pelakunya ke dalam Jahannam.

Allah -’Azza wa Jalla- berfirman:

وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ

Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).”. (QS. An-Nahl: 9)

Berkata At-Tastury :

“’Qosdhus sabil’ adalah jalan sunnah ‘di antaranya ada yang bengkok’ yakni bengkok ke Neraka yaitu agama-agama yang batil dan bid’ah-bid’ah”.

Maka bid’ah mengantarkan para pelakunya ke dalan Neraka, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam khutbatul hajah:


أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

وَفِي رِوَايَةٍ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ

وَفِي رِوَايَةِ النَّسَائِيِّ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HSR. Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhuma)


Dalam satu riwayat,

Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah”.

Dan dalam riwayat An-Nasa`iy,

Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan semua kesesatan berada dalam Neraka”.

Dan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah secara marfu’:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy)

3.Bid’ah itu tertolak atas pelakunya siapapun orangnya.

Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali ‘Imran: 85)

Dan bid’ah sama sekali bukan bahagian dari Islam sedikitpun juga, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits yang sedang kita bahas sekarang.

4.Allah melaknat para pelaku bid’ah dan orang yang melindungi/menolong pelaku bid’ah.

Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menegaskan:

فَمَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ عَدْلٌ وَلَا صَرْفٌ

Barangsiapa yang memunculkan/mengamalkan bid’ah atau melindungi pelaku bid’ah, maka atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia, tidak akan diterima dari tebusan dan tidak pula pemalingan”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Ali dan HSR. Muslim dari Anas bin Malik)

5.Para pelaku bid’ah jarang diberikan taufiq untuk bertaubat –nas`alullaha as-salamata wal ‘afiyah-.

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ احْتَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَهَا

Sesungguhnya Allah mengahalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya”. (HR. Ath-Thobarony dan Ibnu Abi ‘Ashim dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 1620)

Berkata Syaikh Bin Baz ketika ditanya tentang makna hadits di sela-sela pelajaran beliau mensyarah kitab Fadhlul Islam,

“… Maknanya adalah bahwa dia (pelaku bid’ah ini) menganggap baik bid’ahnya dan menganggap dirinya di atas kebenaran, oleh karena itulah kebanyakannya dia mati di atas bid’ah tersebut –wal’iyadzu billah-, karena dia menganggap dirinya benar. Berbeda halnya dengan pelaku maksiat yang dia mengetahui bahwa dirinya salah, lalu dia bertaubat, maka kadang Allah menerima taubatnya”.

6.Para pelaku bid’ah akan menanggung dosanya dan dosa setiap orang yang dia telah sesatkan sampai hari Kiamat –wal’iyadzu billah-.

Allah-Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ

(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”. (QS. An-Nahl: 25)

Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:

وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka atasnya dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HSR. Muslim dari Abu Hurairah)

7.Setiap pelaku bid’ah akan diusir dari telaga Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ وَلَيُرْفَعَنَّ مَعِي رِجَالٌ مِنْكُمْ ثُمَّ لَيُخْتَلَجُنَّ دُونِي فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

Saya menunggu kalian di telagaku, akan didatangkan sekelompok orang dari kalian kemudian mereka akan diusir dariku, maka sayapun berkata : “Wahai Tuhanku, (mereka adalah) para shahabatku”, maka dikatakan kepadaku : “Engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan setelah kematianmu”. (HSR. Bukhary-Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

8.Para pelaku bid’ah menuduh Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan agama karena ternyata masih ada kebaikan yang belum beliau tuntunkan.

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata -sebagaimana dalam kitab Al-I’tishom (1/64-65) karya Imam Asy-Syathiby rahimahullah-,

“Siapa saja yang membuat satu bid’ah dalam Islam yang dia menganggapnya sebagai suatu kebaikan maka sungguh dia telah menyangka bahwa Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian”. (QS. Al-Ma`idah: 3)

Maka perkara apa saja yang pada hari itu bukan agama maka pada hari inipun bukan agama”.

9.Dalam bid’ah ada penentangan kepada Al-Qur`an.

Al-Imam Asy-Syaukany rahimahullah berkata dalam kitab Al-Qaulul Mufid fii Adillatil Ijtihad wat Taqlid (hal. 38) setelah menyebutkan ayat dalam surah Al-Ma`idah di atas,

“Maka bila Allah telah menyempurnakan agamanya sebelum Dia mewafatkan NabiNya, maka apakah (artinya) pendapat-pendapat ini yang di munculkan oleh para pemikirnya setelah Allah menyempurnakan agamanya?!.
Jika pendapat-pendapat (bid’ah ini) bahagian dari agama –menurut keyakinan mereka- maka berarti Allah belum menyempurnakan agamanya kecuali dengan pendapat-pendapat mereka, dan jika pendapat-pendapat ini bukan bahagian dari agama maka apakah faidah dari menyibukkan diri pada suatu perkara yang bukan bahagaian dari agama ?!”.

10.Para pelaku bid’ah akan mendapatkan kehinaan dan kemurkaan dari Allah Ta’ala di dunia.

Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ

Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kedustaan”. (QS. Al-A’raf: 152)

Ayat ini umum, mencakup mereka para penyembah anak sapi dan yang menyerupai mereka dari kalangan ahli bid’ah, karena bid’ah itu seluruhnya adalah kedustaan atas nama Allah Ta’ala, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah.

C.Perkataan Para Ulama Salaf Dalam Mencela Bid’ah.



1.‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:

اَلْإِقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الْإِجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ

Sederhana dalam melakukan sunnah lebih baik daripada bersungguh-ungguh dalam melaksanakan bid’ah”. (Riwayat Ad-Darimiy)

dan beliau juga berkata:

اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Ittiba’lah kalian dan jangan kalian berbuat bid’ah karena sesungguhnya kalian telah dicukupi, dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (Riwayat Ad-Darimy no. 211 dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam ta’liq beliau terhadap Kitabul ‘Ilmi karya Ibnul Qoyyim)

2.‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

Setiap bid’ah adalah sesat walaupun manusia menganggapnya baik”. (Riwayat Al-Lalika`iy dalam Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah)

3.Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata:

فَإِيَّاكُمْ وَمَا يُبْتَدَعُ, فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌ

Maka waspadalah kalian dari sesuatu yang diada-adakan, karena sesungguhnya apa-apa yang diada-adakan adalah kesesatan”. (Riwayat Abu Daud no. 4611)

4.‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma pernah berkata kepada ‘Utsman bin Hadhir:

عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَالْإِسْتِقَامَةِ, وَاتَّبِعْ وَلاَ تَبْتَدِعْ

Wajib atasmu untuk bertaqwa kepada Allah dan beristiqomah, ittiba’lah dan jangan berbuat bid’ah”. (Riwayat Ad-Darimy no. 141)

5.Telah berlalu perkataan dari Imam Malik rahimahullah.

6.Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah berkata:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

Barang siapa yang menganggap baik (suatu bid’ah) maka berarti dia telah membuat syari’at”.

7.Imam Ahmad rahimahullah berkata dalam kitab beliau Ushulus Sunnah:

أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا اَلتَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وعلى آله وسلم وَالْإِقْتِدَاءُ بِهِمْ وَتَرْكُ الْبِدَعَ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang para shahabat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berada di atasnya, meneladani mereka serta meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”.

8.Sahl bin ‘Abdillah At-Tastury rahimahullah berkata:

مَا أَحْدَثَ أًحَدٌ فِي الْعِلْمِ شَيْئًا إِلاَّ سُئِلَ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, فَإِنْ وَافَقَ السُّنَّةَ سَلِمَ وَإِلاَّ فَلاَ

Tidaklah seseorang memunculkan suatu ilmu (yang baru) sedikitpun kecuali dia akan ditanya tentangnya pada hari Kiamat ; bila ilmunya sesuai dengan sunnah maka dia akan selamat dan bila tidak maka tidak”. (Lihat Fathul Bary : 13/290)

9.‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah berkata:

أَمَّا بَعْدُ, أُوْصِيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَالْإِقْتِصَادْ فِي أَمْرِهِ, وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ, وَتَرْكِ مَا أَحْدَثَ الْمُحْدِثُوْنَ بَعْدَ مَا جَرَتْ بِهِ سُنَّتُهُ

Amma ba’du, saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan bersikap sederhana dalam setiap perkaraNya, ikutilah sunnah NabiNya Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan tinggalkanlah apa-apa yang dimunculkan oleh orang-orang yang mengada-adakan setelah tetapnya sunnah beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam”. (Riwayat Abu Daud)

10.Abu ‘Utsman An-Naisabury rahimahullah berkata:

مَنْ أَمَّرَ السُّنَّةَ عَلَى نَفْسِهِ قَوْلاً وَفِعْلاً نَطَقَ بِالْحِكْمَةِ, وَمَنْ أَمَّرَ الْهَوَى عَلَى نَفْسِهِ قَوْلاً وَفِعْلاً نَطَقَ بِالْبِدْعَةِ

Barang siapa yang menguasakan sunnah atas dirinya baik dalam perkataan maupun perbuatan maka dia akan berbicara dengan hikmah, dan barang siapa yang menguasakan hawa nafsu atas dirinya baik dalam perkataan maupun perbuatan maka dia akan berbicara dengan bid’ah”. (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah : 10/244)

{Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah (1/89-92), Al-I’tishom (1/50-53 dan 61-119) dan Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (25-35)}

Jadi,jika tahlilan,merayakan maulid dan membaca -Al-Qur'an di makam ada tuntunan dari Rosullulloh,tentu sebagai umat ISLAM yang senantiasa berusaha berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan Sunnah,kita akan melakukan hal tersebut,tapi bukankah tidak ada dalil untuk hal-hal tersebut dan tidak pula pernah dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad Salallohu'alaihiwassalam?

Sumber:http://al-atsariyyah.com/?s=bid'ah dengan tambahan dari penulis.


baca selengkapnya » Bid'ah ( Mengupas Tuntas Masalah Bid'ah dan Apa Itu Bid'ah!)

Hadits Sahih Hukum Celana Ngatung / Cingkrang (Tidak Isbal)



" Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala mudah mudahan mereka selalu ingat." (QS Al A'raf -26)


Yang akan dibahas kali ini seputar:

1.Larangan Melakukan Isbal Pada Pakaian
2.Hukum Isbal Karena Sombong dan Tidak Sombong
3.Tidak Boleh Isbal Sama Sekali
4.Hukum Memanjangkan Celana
5.Isbal Tanpa Kesombongan
6.Beberapa Kondisi yang Dikecualikan dari Hukum Haramnya Isbal
7.Batasan Sunnah dalam Pakaian

Muqodimah



Segala Puji Bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb semesta alam. Aku bersaksi tiada yang berhak diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan shalawat kepada beliau, keluarganya, sahabatnya dan orang yang mengikuti sunnah-sunnah beliau serta orang yang mendapatkan hidayah dengan bimbingan beliau hingga hari akhir.

Setelah itu, merupakan suatu kewajiban bagi muslimin untuk mencintai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, menta'ati beliau dengan melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya serta membenarkan berita yang dibawa beliau. Itu semua bisa menunjukkan realisasi Syahadat Laa ilaha ila Allah dan Muhammad Rasulullah. Dengan itu dia bisa mendapatkan pahala dan selamat dari hukuman Allah Subhanahu wa Ta'ala.



Tanda dan bukti hal itu adalah dengan terus komitmen melaksanakan simbol-simbol Islam, dalam bentuk perintah, larangan, penerangan, ucapan, keyakinan maupun amalan. Dan hendaklah dia mengatakan :

“sami'na wa atha'na (kami mendengar dan taat)”.

Diantara hal itu adalah membiarkan jenggot (tidak mencukurnya) dan memendekkan pakaian sebatas kedua mata kaki yang dilakukan karena ta'at kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasul-Nya serta mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan takut pada hukumanNya.

Kalau kita mau memeperhatikan kebanyakan orang ? semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi hidayah kepada mereka dan membimbing mereka kepada kebenaran ? akan didapati mereka melakukan perbuatan Isbal (menurunkan pekaian di bawah mata kaki) pada pakaian dan bahkan sampai terseret di atas tanah.
Itu adalah perbuatan yang mengandung bahaya besar, karena menentang perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasul-Nya dan itu adalah sikap menantang, pelakunya akan mendapat ancaman keras.

Isbal dianggap salah satu dosa besar yang diancam dengan ancaman yang keras. Beranjak dari kewajiban untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, saling nasehat menasehati dengan kebenaran, menginginkan agar saudara-saudaraku kaum muslim mendapat kebaikan dan karena takut kalau mereka tertimpa hukuman yang buruk akibat mayoritas orang melakukan maksiat.

Saya kumpulkan risalah ini berkaitan dengan tema Isbal dan berisi anjuran untuk memendekkan pakaian hingga diatas kedua mata kaki bagi pria serta berisi ancaman bagi yang melakukan Isbal dan memanjangkan melewati mata kaki.

Larangan untuk melakukan Isbal adalah larangan yang bersifat umum,apakah karena sombong atau tidak. Itu sama saja dengan keumuman nash. Tapi, bila dilakukan karena sombong maka hal itu lebih keras lagi kadar keharamannya dan lebih besar dosanya .

Isbal adalah suatu lambang kesombongan dan orang yang memiiki rasa sombong dalam hatinya walaupun seberat biji dzarrah tidak akan masuk surga, sebagaimana yang diterangkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Maka wajib bagi seorang muslim untuk menyerah dan tunduk dan mendengar dan taat kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah sebelum kematian datang menunjunginya, bila samapai demikian ia akan menemukan ancaman yang dulu telah disampaikan kepadanya. Ketika itu dia menyesal dan tidak ada manfaat penyesalan di waktu itu.

Wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari maksiat isbal (memanjangkan celana) dan maksiat lainnya. Hendaklah ia memendekkan pakaiannya di atas kedua mata kaki dan menyesali apa yang telah dia lakukan selama hidupnya.

Dan hendaklah ia bertekad dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi maksiat-maksiat di sisa umurnya yang singkat ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubat bagi orang yang mau bertaubat. Seorang yang bertaubat dari suatu dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.

Risalah ini diambil dari ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sabda Rasulullah serta ucapan para peneliti dari kalangan Ulama. Saya mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar ia memberi manfaat risalah ini kepada penulisnya, atau pencetaknya, atau pembacanya, atau pendengarnya. Dan saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar ia menjadikan amalan ini ikhlas untuk mengharap waahnya yang mulia dan menjadi sebab untuk mencari kebahagian sorga yang nikmat.

Dan saya berharap agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah kepada Muslim yang masih melakukan Isbal pada pakaian mereka unuk melaksanakan sunnah Nabi mereka, Muhammad Ibn Abdullah, yaitu dengan memendekkannya. Dan saya berharap agar Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai orang orang yang membimbing lagi mendapatkan hidayah. Semoga salawat dan salam tercurah pada Nabi kita, Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya dan segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb Semesta alam.

1.Larangan Melakukan Isbal Pada Pakaian



Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat kepada para hambanya berupa pakaian yang menutup aurat-aurat mereka dan memperindah bentuk mereka.

Dan ia telah menganjurkan untuk memakai pakaian takwa dan mengabarkan bahwa itu adalah sebaik-baiknya pakaian.

Saya bersaksi tidak ada yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha Esa. Tiada sekutu baginya miliknya segenap kekuasan di langit dan di bumi dan kepadanya kembali segenap makhluk di hari Akhir. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu ialah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tidak ada satupun kebaikan kecuali telah diajarkan beliau kepada ummatnya.
Dan tidak ada suatu kejahatan kecuali telah diperingatkan beliau kepada ummatnya agar jangan mlakukannya. Semuga Shalawat serta Salam tercurah kepada beliau, keluarganya, dan para sahabatnya dan orang yang berjalan di atas manhaj Beliau dan berpegang kepda sunnah beliau.

"Wahai kaum muslimin, bertakwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

" Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala mudah mudahan mereka selalu ingat." (QS Al A'raf -26)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan nikmat kepada para hambaNya berupa pakaian dan keindahan. Dan pakaian yang dimaksudkan oleh ayat ini ialah pakaian yang menutupi aurat. Dan ar riisy yang dimaksud ayat ini adalah memperindah secara dlohir. maka pakaian adalah suatu kebutukan yang penting, sedangkan ar riisy adalah kebutuhan pelengkap.

Imam Ahmad meriwatkan dalam musnadnya, beliau berkata : Abu Umamah pernah memakai pakaian baru, ketika pakaian itu lusuh ia berkata :

“Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan pakai ini kepadaku guna menutupi auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku”,

kemudian ia berkata : aku mendengar Umar Ibn Khattab berkata : Rasulullah bersabda :

"Siapa yang mendapatkan pakaian baru kemudian memakainya. Dan kemudian telah lusuh ia berkata segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan pakaian ini kepadaku guna menutupi auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku dan mengambil pakaian yang lusuh dan menyedekahkannya, dia berada dalam pengawasan dan lindungan dan hijab Allah Subhanahu wa Ta’ala, hidup dan matinya.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibn Majah. Dan Turmudzi berkata hadis ini gharib )

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan pakaian tubuh yang digunakan untuk menutup aurat, membalut tubuh dan memperindah bentuk, Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan bahwa ada pakaian yang lebih bagus dan lebih banyak faedahnya yaitu pakaian taqwa. Yang pakaian taqwa itu ialah menghiasi diri dengan berbagai keutamaan-keutamaan.

Dan membersihkan dari berbagai kotoran. Dan pakaian taqwa adalah tujuan yang dimaukan. Dan siapa yang tidak memakai pakaian taqwa, tidak manfaat pakaian yang melekat di tubuhnya.

Bila seseorang tidak memakai pakaian taqwa, berarti ia telanjang walaupun ia berpakaian.

Maksudnya :

Pakaian yang disebut tadi adalah agar kalian agar mengingat nikmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan menyukurinya. Dan hendaknya kalian ingat bagaimana kalian butuh kepada pakaian dhahir dan bagaimana kalian butuh kepada pakaian batin. Dan kalian tahu faedah pakaian batin yang tidak lain adalah pakaian taqwa.

Wahai para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya pakaian adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hambanya yang wajib disyukuri dan dipuji. Dan pakaian itu memiliki beberapa hukum syariat yang wajib diketahui dan diterapkan. Para pria memiliki pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk.

Wanita juga memiliki pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk. Tidak boleh salah satunya memakai pakaian yang lain. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melaknat laki-laki yang meniru wanita dan wanita yang meniru laki laki.(HR Bukhari, Abu Daud, Turmudzi dan Nasa'i).

Dan Nabi juga bersabda :

"Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki yang memakai pakaian wanita."( HR Ahmad, Abu Daud, Nasa'I, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban dan beliau mensahihkannya, serta Al Hakim, beliau berkata : Hadits ini sahih menurut syarat Muslim).

Haram bagi pria untuk melakukan Isbal pada sarung, pakian, dan celana. Dan ini termasuk dari dosa besar.

Isbal adalah menurunkan pakaian di bawah mata kaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

"Dan janganlah engkau berjalan diats muka bumi ini dengan sombong, karna sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh."( Luqman: 18 )

Dari Umar Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasullulah SHALALLAHU ‘ALAIHI WASSALAM bersabda :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat." ( HR Bukhari dan yang lainnya ).

Dan dari Ibnu umar juga, Nabi bersabda :

"Isbal berlaku bagi sarung, gamis, dan sorban. Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat." ( Hr Abu Daud, Nasa'i, dan Ibnu Majah. Dan hadits ini adalah hadits yang sahih ).

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :

"Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong". (Muttafaq 'alaihi)

Dalam riwayat Imam Ahmad dan Bukhari dengan bunyi :

“Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di Neraka."

Rasullullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda :

"Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat. Tidak dilihat dan dibesihkan (dalam dosa) serta akan mendapatkan azab yang pedih, yaitu seseorang yang melakukan isbal (musbil), pengungkit pemberian, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (Hr Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah)

Wahai para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam keadaan kita mengetahi ancaman keras bagi pelaku Isbal, kita lihat sebagian kaum muslimin tidak mengacuhkan masalah ini. Dia membiarkan pakaiannya atau celananya turun melewati kedua mata kaki. Bahkan kadang-kadang sampai menyapu tanah. Ini adalah merupakan kemungkaran yang jelas. Dan ini merupakan keharaman yang menjijikan. Dan merupakan salah satu dosa yang besar. Maka wajib bagi orang yang melakukan hal itu untuk segera bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga segera menaikkan pakaiannya kepada sifat yang disyari'atkan.

Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Sarung seorang mukmin sebatas pertengahan kedua betisnya. Tidak mengapa ia menurunkan dibawah itu selama tidak menutupi kedua mata kaki. Dan yang berada dibawah mata kaki tempatnya di neraka. (HR Malik dalam Muwaththa' ,dan Abu Daud dengan sanad yang sahih)

Ada juga pihak yang selain pelaku Isbal, yaitu orang-orang yang menaikan pakaian mereka di atas kedua lututnya, sehingga tampak paha-paha mereka dan sebagainya, sebagaimana yang dilakukan klub-klub olahraga, di lapangan-lapangan ?. Dan ini juga dilakukan oleh sebagian karyawan.

Kedua paha adalah aurat yang wajib ditutupi dan haram dibuka. Dari 'Ali Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Jangan engkau singkap kedua pahamu dan jangan melihat paha orang yang masih hidup dan juga yang telah mati." (HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Al Arnauth berkata dalam Jami'il Ushul 5/451 : "sanadnya hasan")

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan manfaat kepadaku dan anda sekalian melalui hidayah kitab-Nya. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan ucapan yang benar kejadian mengikutinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Ta'ala berfirman :

"Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat keras hukuman-Nya (Al Hasyr : 7)

Hukum Menurunkan Pakaian Bagi Pria (Isbal)

Rasulullah bersabda :

"Apa yang ada di bawah kedua mata kaki berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka" (HR.Bukhori)

Dan beliau berkata lagi ;

"Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong".

dan dalam sebuah riwayat yang berbunyi :

"Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat di hari kiamat kepada orang-orang yang menyeret pakaiannya karena sombong." (HR. Malik, Bukhari, dan Muslim)

dan beliau juga bersabda :

" Ada 3 golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan ( dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa'i).

Musbil (pelaku Isbal) adalah seseorang yang menurunkan sarung atau celananya kemudian melewati kedua mata kakinya. Dan Al mannan yang tersebut pada hadist di atas adalah orang yang mengungkit apa yang telah ia berikan. Dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu adalah seseorang yang dengan sumpah palsu ia mempromosikan dagangannya.
Dia bersumpah bahwa barang yang ia beli itu dengan harga sekian atau dinamai dengan ini atau dia menjual dengan harga sekian padahal sebenarnya ia berdusta. Dia bertujuan untuk melariskan dagangannya.

Dalam sebuah hadist yang berbunyi :

"Ketika seseorang berjalan dengan memakai prhiasan yang membuat dirinya bangga dan bersikap angkuh dalam langkahnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melipatnya dengan bumi kemudian dia terbenam di dalamya hingga hari kiamat. (HR. Mutafaqqun 'Alaihi)

Rasulullah bersabda :

" Isbal berlaku pada sarung, gamis, sorban. Siapa yang menurunkan sedikit saja karena sombong tidak akan dilihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat." (HR Abu Dawud dengan sanad Shohih).

Hadist ini bersifat umum. Mencakup pakaian celana dan yang lainnya yang yang masih tergolong pakaian. Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengabarkan dengan sabdanya ;

" Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima shalat seseorang yang melakukan Isbal." (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Imam Nawawi mengatakan di dalam Riyadlush Sholihin dengan tahqiq Al Anauth hal: 358)

Melalui hadist-hadist Nabi yang mulia tadi menyatakan bahwa menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki dianggap sebagai suatu perkara yang haram dan salah satu dosa besar yang mendapatkan ancaman keras berupa neraka. Memendekkan pakaian hingga setengah betis lebih bersih dan lebih suci dari kotoran kotoran .
Dan itu juga merupakan sifat yang lebih bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Oleh karena itu, wajib bagimu… wahai saudaraku muslimin…, untuk memendekkan pakaianmu diatas kedua mata kaki karena taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya dengan mentaati Rasullullah .

Dan juga kamu melakukannya karena takut akan hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya. Agar engkau menjadi panutan yang baik bagi orang lain. Maka segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakkukan taubat nasuha (bersungguh-sungguh) dengan terus melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Dan hendaknya engkau telah menyesal atas apa yang kau perbuat.

Hendaknya engkau sungguh-sungguh tidak untuk tidak megulangi perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dimasa mendatang, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat orang yang mau bertaubat kepada-Nya, karena ia maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang.

"Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala, terimalah taubat kami, sungguhnya engkau maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang."

"Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala berilah kami dan semua saudara saudara kami kaum muslimin bimbingan untuk menuju apa yang engkau ridloi, karena sesungguh-Nya engkau maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada Muhammad, keluarganya dan sahabatnya."

2.Hukum Isbal Karena Sombong dan Tidak Sombong



Pertanyaan :

Apakah hukumnya memanjangkan pakaian jika dilakukan karena sombong atau karena tidak sombong. Dan apa hukum jika seseorang terpaksa melakukakannya, apakah karena paksaan keluarga atau karena dia kecil atau karena udah menjadi kebiasaan ?

Jawab :

Hukumnya haram sebagaimana sabda Nabi :

"Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di Neraka " (HR.Bukhari dalam sahihnya )

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih Abu Dzar ia berkata: Rasulullah bersabda:

" Ada 3 golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." ( HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa'i).

Kedua hadist ini semakna dengan mencakup musbil yang sombong atau karena sebab lain. Karena Rasulullah mengucapkan dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan . Kalau ia melakukan karena sombong maka dosa yang ia lakukan akan lebih besar lagi dan ancamannya lebih keras, Rasulullah bersabda :

"Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong". (Muttafaq 'alaihi)

Tidak boleh menganggap bahwa larangan melakukan Isbal itu hanya karena sombong saja, karena rasullullah tidak memberikan pengecualian hal itu dalam kedua hadist yang telah kita sebutkan tadi, sebagaiman juga beliau tidak memberikan pengecualian dalam hadist yang lain, Rasul bersabda :

"Jauhilah olehmu Isbal, karena ia termasuk perbuaan yang sombong" (HR Abu Daud, Turmudzi dengan sanad yang shahih).

Beliau menjadikan semua perbuatan Isbal termasuk kesombongan karena secara umum perbuatan itu tidak dilakukan kecuali memang demikian. Siapa yang melakukannya tanpa diiringi rasa sombong maka perbuatannya bisa menjadi perantara menuju kesana. Dan perantara dihukumi sama dengan tujuan .
Dan semua perbuatan itu adalah perbuatan berlebihan lebihan dan mengancam terkena najis dan kotoran.

Oleh karena itu Umar Ibn Khatab melihat seorang pemuda berjalan dalam keadaan pakaiannya menyeret di tanah, ia berkata kepadanya :

"Angkatlah pakaianmu, karena hal itu adalah sikap yang lebih taqwa kepada Rabbmu dan lebih suci bagi pakaianmu ( Riwayat Bukhari lihat juga dalam al Muntaqo min Akhbaril Musthafa 2/451 )

Adapun Ucapan Nabi kepada Abu Bakar As Shiddiq ketika ia berkata :

"Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda :"Engkau tidak termasuk golongan yang melakukan itu karena sombong." (Muttafaq ‘alaih).

Yang dimaksudkan oleh oleh Rasulullah bahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Karena dia (yang benar-benar menjaga ) tidak melakukan Isbal. Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali dan menjaganya benar-benar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang dimaafkan.

Adapun orang yang menurunkannya dengan sengaja, apakah dalam bentuk celana atau sarung atau gamis, maka ini termasuk dalam golongan orang yang mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan ketika pakaiaannya turun. Karena hadits-hadits shahih yang melarang melakukan Isbal besifat umum dari segi teks, makna dan maksud.

Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati terhadap Isbal. Dan hendaknya dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika melakukannya. Dan janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan mengamalkan hadits-hadits yang shahih ini. Dan hendaknya juga itu dilakukan karena takut kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq.

(Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz dinukil dari Majalah Ad Da'wah hal 218).

3.Tidak Boleh Isbal Sama Sekali




Pertanyaan:

Bila seeorang melakukan Isbal pada pakaiannya tanpa diiringi rasa sombong dan angkuh, apakah itu juga diharamkan baginya? Dan apaakah hukum Isbal itu juga berlaku pada lengan pakaian?

Jawab:

Isbal tidak boleh dilakukan secara mutlak berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam :

"Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka." (HR Bukhari dalam shahihnya)

Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir Ibn Sulaim:

"Jauhilah Isbal olehmu, karena itu tergolong kesombongan." (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih)

Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam yang tsabit dari beliau:

"Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR Muslim dalam shahihnya)

Tidak ada beda apakah dia melakukan karena sombang atau tidak. Itu berdasarkan keumuman banyak hadits. Dan juga karena secara keumuman itu dilakukan karena sombong dan angkuh, walau dia tidak bermaksud demikian. Perbuataannya adaalah perantara menuju kesombongan dan keangkuhan.

Dan dalam perbuatan itu juga ada mengandung unsur meniru wanita dan mempermudah pakaian dikenai kotoran dan najis. Serta perbuatan itu juga menunjukkan sikap berlebih-lebihan. Siapa yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar. Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim)

Adapun sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam kepada Abu Bakar Ash Shiddiq Radliyallah'anhu ketika dia mengatakan kepada beliau bahwaa sarungnya sering melorot kecuali kalau dia benar-benar menjaganya:

"Sesungguhnya engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong."(HR Bukhari dan Muslim)

Ini adalah bantahan bagi orang yang melakukannya, tapi berdalil dengan apa yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddiq. Bila dia memang benar-benar menjaganya dan tidak sengaja membiarkannya, itu tidak mengapa.

Adapun lengan baju, maka sunnahnya tidak melewati pergelangan?Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq.
(dari sumber yang sama hal.220)

4.Hukum Memanjangkan Celana



Pertanyaan:

Sebagian orang ada yang memendekkan pakaiannya di atas kedua mata kaki, tapi celananya tetap panjang. Apa hukum hal itu?

Jawab:

Isbal adalah perbuatan haram dan mungkar, sama saja apakah hal itu terjadi pada gamis atau sarung. Dan Isbal adalah yang melewati kedua mata kaki berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam

"Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka." (HR Bukhari)

Dan beliau Shalallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:

"Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR Muslim dalam shahihnya)

Beliau juga bersabda kepaada sebagian para sahabatnya: "Jauhilah Isbal olehmu, karena itu termasuk kesombongan." (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih)

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Isbal termasuk salah satu dosa besar, walau pelakunya mengira bahwa dia tidak bermaksud sombong ketika melakukannya, berdasarkan keumumannya. Adapun orang yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim)

Karena perbuatan itu menggabung antara Isbal dan kesombongan. Kita mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia memberi keampunan. Adapun ucapan Nabi Shalallaahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Bakr ketika dia berkata kepada Beliau:

" Wahai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, sarungku sering turun kecuali kalau aku benar-benar menjaganya." Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:" Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong." (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Isbal boleh dilakukan bagi orang yang tidak karena sombong.
Tapi hadits ini menujukkan bahwa orang yang sarungnya atau celananya melorot tanpa maksud sombong kemudian dia benar-benar menjaganya dan membetulkannya tidak berdosa. Adapun menurunkan celana di bawah kedua mata kaki yang dilakukan sebagian orang adalah perbuatan yang dilarang.
Dan yang sesusai dengan sunnah adalah hendaknya gamis atau yang sejenisnya, ujungnya berada antara setengah betis sampai mata kaki dengan mengamalkan semua hadits-hadits tadi. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq.
(Dari sumber yang sama hal. 221).

5.Isbal Tanpa Kesombongan



Pertanyaan :

Apakah menurunkan pakaian melewati kedua matakaki (Isbal) bila dilakukan tanpa sombong didanggap suatu yang haram atau tidak ?

Jawab :

Menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki bagi pria adalah perkara yang haram. Apakah itu karena sombong atau tidak. Akan tetapi jika dia melakukannya karena sombong maka dosanya lebih besar dan keras, berdasarkan hadist yang tsabi dari Abu Dzar dalam Shahih Muslim, bahwa Rasulullah bersabda :

"Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dibersihkan dari dosa serta mereka akan mendapatkan azab yang pedih."

Abu Dzarr berkata :

"Alangkah rugi dan bangkrutnya mereka ya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ! Beliau berkata: "(Mereka adalah pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah palsu" ( HR Muslim dan Ashabus Sunan)

Hadis ini adalah hadist yang mutlak akan tetapi dirinci dengan hadist Ibnu umar, dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, beliau bersada :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat."(HR Bukhari)

Kemutlakan pada hadist Abu Dzar dirinci oleh hadist Ibnu Umar, jika dia melakukan karena sombong Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya, membersihkannya dan dia akan mendapatkan azab sangat pedih. Hukuman ini lebih berat dari pada hukuman bagi orang yang tidak menurunkan pakaian tanpa sombong. Karena Nabi berkata tentang kelompok ini dengan:

"Apa yang berada dibawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di neraka" (HR Bukhari dan Ahmad)

Ketika kedua hukuman ini berbeda, tidak bisa membawa makna yang mutlak kepada pengecualian, karena kaidah yang membolehkan untuk megecualikan yang mutlak adalah dengan syarat bila kedua nash sama dari segi hukum.

Adapun bila hukum berbeda maka tidak bisa salah satunya dikecualaikan dengan yang lain. Oleh karena ini ayat tayammum yang berbunyi :

"Maka sapulah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian dengan tanah itu." (Al Maidah :6).

Tidak bisa kita kecualikan dengan ayat wudlu yang berbunyi :

"Maka basuhlah wajah wajah kalian dan tangan tangan kalian sampai siku. ( Al Maidah : 6).

Maka kita tidak boleh melakukan tayammum sampai kesiku. Itu diriwayatkan oleh Malik dan yang lainnya dari dari Abu Said Al Khudri bahwa Nabi bersabda :

"Sarung seseorang mukmin sampai setengah betisnya. Dan apa yang berada dibawah mata kaki, maka tempatnya di neraka. Dan siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya."

Disini Nabi menyebutkan dua contoh dalam hukum kedua hal itu , karena memang hukum keduanya berbeda. Keduanya berbeda dalam perbuatan, maka juga berbeda dalam hukum. Dengan ini jelas kekeliruan dan yang mengecualikan sabda Rasulullah ;

"Apa yang dibawah mata kaki tempatnya dineraka."

Dengan sabda beliau :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala."

Memang ada sebagian orang yang bila ditegur perbuatan Isbal yang dilakukannya, dia berkata: Saya tidak melakuakan hal ini karena sombong .

Maka kita katakan kepada orang ini :
Isbal ada dua jenis, yaitu jenis hukumnnya ; adalah bila seseorang melakukannya karena sombong maka dia tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapatkan siksa yang sangat pedih. berbeda dengan orang yang melakukan Isbal tidak karena sombong.

orang ini akan mendapatkan adzab, tetapi ia masih di ajak bicara, dilihat dan dibersihkan dosanya. Demikian kita katakan kepadanya.

(Diambil dari As'ilah Muhimmah Syaikh Muhammad Ibn Soleh Utsaimin), diterjemahkan oleh Ustadz Ali Ishmah al Maidani dengan judul Hukum Memakai Kain Di Bawah Mata Kaki (Isbal). Penerbit Adz Dzahabi)

6.Beberapa Kondisi yang Dikecualikan dari Hukum Haramnya Isbal



Dengan memperhatikan beberapa dalil denganpembahasannya yang telah dipaparkan di atas, bisa disimpulkan adanya beberapakondisi dimana isbal tidak diharamkan.


Pertama:
Kondisi darurat yang memaksa seorang lelaki untuk melakukan isbal. Di antaranya adalah contoh keadaan yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari (10/257). Beliau berkata: “Dikecualikan dari [larangan] isbal pada pakaian secara mutlak adalah pakaian yang dikenakan dengan isbal karena terpaksa oleh keadaan.
Contohnya seperti seorang pria yang pada mata kakinya terdapat luka, dimana dia terganggu dengan adanya lalat [yang mengerumuni luka tersebut] apabila dia tidak menutupinya dengan kain sarung [yang dia julurkan hingga menutupi mata kaki yang ada lukanya]. Sementara dia tidak mendapatkan sesuatu untuk menutupi luka tersebut selain sarungnya [yang dia kenakan secara isbal karena terpaksa].

Dan adanya pengecualian ini telah di berita hukan oleh Syaikh kami (Al-Hafizh Al-‘Iroqi) dalam kitab Syarah Sunan Tirmidzi. Beliau berdalil tentang hal tersebut dengan adanya izin dari Nabi kepada ‘Abdurrohman bin ‘Auf untuk memakai gamis yang terbuat dari sutra karena penyakit gatal yang dideritanya. Adapun faktor kesamaan antara dua kondisi tersebut1 adalah adanya keterpaksaan (darurat) yang menyebabkan diperbolehkannya melanggar sesuatu yang asalnya sudah ada larangan dari Nabi. Hal ini seperti diperbolehkannya menyingkap aurat untuk proses pengobatan [jika kondisinya memang mendesak untuk dilakukannya hal tersebut].”

Kedua:
Kondisi para wanita [muslimah yang memang senantiasa butuh untuk menjulurkan kainnya hingga isbal dalam rangka untuk menutupi aurat mereka. Bahkan Al-Qodhi ‘Iyadh –sebagaimana yang tercantum dalam kitab Fathul Bari (10/259)- telah menukilkan kesepakatan para ulama tentang terbatasnya larangan isbal hanya bagi kaum laki-laki, dan tidak berlaku bagi kaum wanita. Namun keringanan ini hanya terbatas sampai sepanjang satu hasta jika diukur dari tengah betis mereka.

Adapun selebihnya adalah isbal yang tidak diperbolehkan oleh Nabi bagi kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash hadits Ibnu ‘Umar yang dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4117) dan dishohihkan oleh Asy-SyaikhAl-Albani dalam kitab Shohih Abi Dawud.]

Ketiga:
Apabila pakaian seorang lelaki turun dengan sendirinya dan dia tidak bermaksud untuk sengaja melakukan isbal, kemudian juga disertai dengan adanya usaha untuk menjaga pakaiannya supaya tidak sampai isbal. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam kisahnya Abu Bakar. [Dan masuk juga pada kategori ini bila pakaian seorang lelaki itu menjadi isbal tanpa sengaja karena lupa, terkejut, tergesa-gesa dan kondisi lainnya yang sejenis, sementara dia sudahberusaha untuk menjaganya supaya tidak isbal.]

7.Batasan Sunnah dalam Pakaian



Ada beberapa hadits yang menerangkan tentang batasan panjangnya pakaian secara syar’i. Dan di sini akan disebutkan empat hadits yang telah tsabit dari Rosululloh.


1.Hadits Hudzaifah yang dikeluarkan oleh Imam An-Nasai (8/206-207),Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/39), dan Imam Ibnu Hibban sebagaimana dalam kitab Al-Ihsan (no. 5425) [dengan sanad yang hasan], bahwasanya Rosululloh bersabda:

مَوْضِعُالإزَارِ إِلَى أَنْصَافِ السَّاقَيْن ِ وَ الْعَضَلَةِ , فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ , فَإِنْ أَبَيْتَ فَمِنْ وَرَاءِ السَّاق ِ , وَ لاَ حَقَّ لِلْكَعْبَيْن ِ فِى الإزَارِ

“Tempatnya sarung itu sampai ke pertengahan betis dan ototnya. Lalu kalau engkau enggan [untuk mengangkatnya sampai tengah betis], maka boleh lebih rendah sedikit. Kemudian bila engkau masih enggan juga, maka boleh di bawah betis. Dan tidak ada hak sama sekali bagi kedua mata kaki sebagai tempat sarung.2


2.Hadits Anas yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/249) dan Imam Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman, bahwasanya Rosululloh bersabda:

" اَلإِزَارُ إِلَى نِصْفِ السَّاق ِ " فَلَمَّا رَأَى شِدَّةَ ذَ لِكَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ قَالَ : " إِلَى الْكَعْبَيْن ِ لاَ

خَيْرَ فِيْمَا أَسْفَلَ مِنْ ذَ لِكَ "

“Kain sarung itu terjulur sampai pertengahan betis.” Kemudian tatkala beliau melihat beratnya hal tersebut bagi kaum muslimin, beliaupun bersabda: “Sampai [tepat di atas3] kedua mata kaki. Dan
sama sekali tidak ada kebaikan pada bagian yang terjulur di bawah itu [yaitu mulai mata kaki ke bawah].”

Hadits Anas ini disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shohihah (no.1765)

3.Hadits Abu Sa’id Al-Khudri, bahwasanya Rosululloh bersabda :

إِزْرَةُ الْمُؤْمِن ِ إِلَى نِصْفِ السَّاق ِ , وَ لاَ حَرَجَ أَوْلاَ جُنَاحَ فِيْمَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْكَعْبَيْن ِ , وَ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ ذَ لِكَ فَهُوَ فِى النَّارِ

“Kain sarungnya seorang mukmin [laki-laki itu turun] sampai pertengahan betisnya. Dan tidaklah berdosa atau tidak mengapa [kalau dia menurunkannya sampai pada bagian kaki] antara tengah betis dengan kedua mata kaki. Adapun bagian yang lebih rendah dari itu [yaitu turun sampai menyentuh mata kaki atau bahkan melampauinya], maka tempatnya di neraka.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4093), Imam Ibnu Majah (no. 3573), Imam An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubro (no. 9715), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (3/5), Imam Malik dalam Al-Muwaththo’ (no. 713) dan Imam Ath-Thobaroni dalam Mu’jamul Ausath (no. 5200), semuanya lewat jalur periwayatan Al-‘Ala’ bin ‘Abdirrohman dari bapaknya dari Abu Sa’id Al-Khudri sebagaimana di atas. Dan sanad hadits ini adalah hasan dikarenakan adanya Al-‘Ala’.

Sementara penulis kitab ‘Aunul Ma’bud (6/103) menjelaskan:

“Hadits Abu Sa’id Al-Khudri tersebut mengandung dalil yang menunjukkan bahwa yang dianjurkan (mustahab) pada kain sarung seorang muslim adalah [dinaikkan] hingga pertengahan betis. Dan diperbolehkan (tanpa ada unsur makruh) pada kain sarung yang [diturunkan hingga] di bawah pertengahan betis sampai kedua mata kaki.4
Adapun bagian kain sarung yang berada di bawah kedua mata kaki adalah haram serta terlarang.”

Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari (10/259): “Ringkasnya bisa disimpulkan bahwa kaum lelaki itu memiliki dua keadaan. Pertama: kondisi yang dianjurkan, yaitu mencukupkan kain sarungnya
hanya sampai sebatas pertengahan betis.
Kemudian yang kedua:

kondisi yang masih diperbolehkan, yaitu menjulurkannya sampai ke mata kaki.”5


Namun sangat disayangkan kenyataan yang terjadi di kalangan orang-orang muslim, dimana Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (no. 1765) menuturkan: “Dan ini termasuk di antara sunnah-sunnah yang telah ditinggalkan dan tidak diperdulikan lagi oleh orang-orang khusus6 di kalangan kau muslimin, apalagi orang awamnya.”


Fakta ini jelas sangat bertolak belakang dengan sikap yang diambil oleh para sahabat dalam masalah ini. Sebagaimana yang bisa dipahami dari haditsnya ‘Amr bin Asy-Syarid, dia berkata:

أَبْعَدَ رَسُولُ اللهِ رَجُلا ً يَجُرُّ إِزَارَهُ , فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ أَوْ هَرْوَلَ فَقَالَ : " ارْفَعْ إِزَارَكَ وَ اتَّق ِاللهَ " , قَالَ :" إِنِّي أَحْنَفُ تَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ " , فَقَالَ :" ارْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّ كُلَّ خَلْق ِ اللهِ حَسَنٌ " , فَمَا رُؤِيَ ذَ لِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلاَّ إِزَارُهُ يُصِيبُ أَنْصَافَ سَاقَيْهِ أَوْ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ


Dari kejauhan Rosululloh melihat seorang laki-laki yang menjulurkan kain sarungnya hingga terseret. Maka beliaupun bergegas untuk menjumpainya, atau beliau berlari-lari kecil menuju orang tersebut. Lalu beliau menegurnya:

“Angkatlah kain sarungmu dan bertaqwalah kepada Alloh.”

Maka orang itupun berkata [menyampaikan udzurnya]:

“Sesungguhnya saya seorang yang memiliki kaki bengkok [seperti huruf X] dan kedua lutut saya berbenturan ketika berjalan.”

Ternyata Rosululloh tetap mengatakan:

“Angkatlah kain sarungmu, karena sesungguhnya semua ciptaan Alloh adalah bagus.”

Maka setelah kejadian itu tidaklah nampak laki-laki tersebut melainkan kain sarungnya senantiasa terangkat hingga pada tengah-tengah kedua betisnya atau di bawahnya sedikit.

Hadits ini [dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/390) dan] dinyatakan shohih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Shohihah (no. 1441).


Demikianlah sikapnya seorang sahabat. Dimana ketika Nabi memberikan peringatan kepadanya tentang perbuatan isbal yang dia lakukan pada pakaiannya, maka dia cepat menerimanya dan segera mengangkat pakaiannya sampai pertengahan kedua betisnya, [serta tidak pernah lagi menjulurkannnya melebihi batasan tersebut].

Jadi, dia tidak menolak peringatan itu dengan dalih:

‘Saya kan tidak melakukannya karena sombong’, ataupun dengan berbagai macam alasan lainnya [yang tidak syar’i. Bahkan dia segera menerimanya dan terus menerus melaksanakannya, sebagai wujud pelaksanaan]

Firman Alloh:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِن ٍ وَ لاَ مُؤْمِنَةٍ إِ ذَا قَضَى اللهُ وَ رَسُولُهُ أَمْرًاأَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ , وَ مَنْ يَعْص ِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلا ً مُبِيْنًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” [QS Al-Ahzab: 36]

Kemudian juga ada sebuah hadits [shohih yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/141)] dari Ibnu ‘Umar, dia berkata:

دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ وَ عَلَيَّ إِزَارٌ يَتَقَعْقَعُ , فَقَالَ : " مَنْ هَذ َا ؟ " قُلْتُ : " عَبْدُاللهِ بْنُ عُمَرَ " , قَالَ : " إِنْ كُنْتَ عَبْدَ اللهِ فَارْفَعْ إِزَارَكَ " فَرَفَعْتُ إِزَارِي إِلَى نِصْفِ السَّاقَيْن ِ , فَلَمْ تَزَلْ إِزْرَتَهُ حَتَّى مَاتَ

Saya pernah masuk untuk menemui Nabi, dan ketika itu saya mengenakan sarung yang berbunyi [karena terseret di tanah]. Maka beliaupun bertanya:

“Siapakah ini?”

Saya jawab:

“’Abdulloh bin ‘Umar.”

Lalu beliau bersabda lagi:

“Jika engkau memang benar-benar ‘Abdulloh (hamba Alloh), maka angkatlah kain sarungmu.”

Lalu sayapun mengangkat kain sarung saya hingga ke pertengahan betis.
Kemudian senantiasa seperti itulah keadaan sarungnya Ibnu ‘Umar hingga beliau wafat.

Hadits ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (no. 1568). Dan ketika menyampaikan ulasan tentang hadits ini, beliau berkomentar:
Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang jelas serta gamblang, bahwasanya wajib bagi seorang muslim untuk tidak memanjangkan kain sarungnya sampai di bawah mata kaki, meskipun hal itu dilakukan tanpa disertai
dengan maksud sombong.

Bahkan dia [harus senantiasa] mengangkat pakaiannya itu hingga di atas mata kaki. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung bantahan yang nyata terhadap sebagian Masyayikh yang memanjangkan ujung jubah-jubah mereka hingga hampir menyentuh tanah, sementara mereka tetap berdalih dengan anggapan bahwa hal itu tidaklah dilakukannya karena sombong.

Kenapa mereka tidak sekalian meninggalkan perbuatan tersebut, demi mengikuti perintah Rosululloh [sebagaimana yang beliau perintahkan] kepada Ibnu ‘Umar untuk mengangkat pakaiannya? Ataukah mereka merasa lebih suci hatinya dibandingkan Ibnu ‘Umar?

Sumber:
1.http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1171
2.http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=45

baca selengkapnya » Hadits Sahih Hukum Celana Ngatung / Cingkrang (Tidak Isbal)

Masalah Wudhu (Rukun,Syarat,Dalil,Sunnah,Sifat,Kesalahan dan Pembatalan)




يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai dengan siku, dan usaplah kepala-kepala kalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian sampai pada kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)


Pada kesempatan kali ini,kita akan membahas kaitannya masalah-masalah:


1.Dalil diwajibkannya wudhu
2.Syarat-syarat sahnya wudhu
3.Rukun dan Tata Cara wudhu yang benar
4.Sunnah dalam wudhu
5.Pembatal-pembatal wudhu
6.Kesalahan-kesalahan dalam wudhu
7.Sifat wudhu nabi Muhammad saw


i.Dalil diwajibkannya wudhu sebelum shalat



Dalil diwajibkannya wudhu,Allah berfirman dalam Qur'an Surat Al-Maidah:06

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

ii.Syarat-syarat sahnya wudhu



Adapaun syarat-syarat syahnya wudhu adalah:

1).Islam,

2).Berakal,

3).Tamyiz,
Yang dimaksud dengan tasmiyah adalah membaca “bismillah”.

Boleh juga apabila ditambah dengan “Ar-Rohmanir Rohim“. Tasmiyah ketika hendak memulai shalat merupakan syarat sah wudhu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah (bertasmiyah, pen).
(HR. Ibnu Majah, hasan)

4).Niat,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

” Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang diniatkannya. ” (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, orang yang dhohirnya (secara kasat mata) berwudhu, akan tetapi niatnya hanya sekedar untuk mendinginkan badan atau menyegarkan badan tanpa diniati untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam berwudhu serta menghilangkan hadats, maka wudhunya tidak sah. Dan yang perlu untuk diperhatikan, bahwa niat di sini letaknya di dalam hati dan tidak perlu dilafazkan.

5).Istishhab hukum niat,

6).Tidak adanya yang mewajibkan wudhu,

7).Istinja dan Istijmar sebelumnya (bila setelah buang hajat),

8).Air yang thahur (suci lagi mensucikan),
Air dikatakan suci atau masih suci manakala tidak tercampur oleh zat/barang yang najis sehingga menjadi berubah salah satu dari tiga sifat, yaitu bau, rasa dan warnanya. Apabila air telah terkena najis, misalnya air kencing atau yang lainnya, kemudian menjadi berubah salah satu dari ketiga sifat di atas maka air tersebut telah menjadi tidak suci lagi berdasarkan ijma’. Apabila air tersebut tercampuri oleh sesuatu yang bukan najis, maka air tersebut masih boleh dipakai untuk berwudhu apabila campurannya hanya sedikit. Namun apabila campurannya cukup banyak sehingga menjadikan air tersebut tidak bisa dikatakan lagi sebagai air, maka air yang telah berubah ini tidak dapat dipakai untuk berwudhu lagi karena sudah tidak bisa dikatakan lagi sebagai air. Misalnya, ada air yang suci sebanyak 1 liter. Air ini kemudian dicampur dengan 5 sendok makan susu bubuk dan diaduk. Maka campuran air ini tidak bisa lagi dipakai untuk berwudhu karena sudah berubah namanya menjadi “susu” dan tidak dikatakan sebagai air lagi.

9).Air yang mubah (bukan hasil curian misalnya),
Apabila air diperoleh dengan cara mencuri, maka tidak sah berwudhu dengan air tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Baik. Dia tidak menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR. Muslim). Sudah dimaklumi, bahwa mencuri merupakan perbuatan yang tidak baik dan keharamannya sudah jelas. Oleh karena itu, air hasil curian (yang merupakan barang yang tidak baik) tidak sah digunakan untuk berwudhu.

10).Menghilangkan sesuatu yang menghalangi air meresap dalam pori-pori.
Tidak sah wudhu seseorang yang memakai kutek atau yang lainnya yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit.

iii.Rukun dan Tata Cara wudhu yang benar




1.Dalil wajibnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Maidah ayat 6 yang telah kami bawakan, dan juga sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Allah tidak akan menerima shalat tanpa thaharah,” (HR. Al-Jamaah kecuali Al-Bukhari)

2.Nabi -alaihishshalatu wassalam- berwudhu setiap kali mau shalat (HR. Al-Bukhari dan Imam Empat). Beliau bersabda, “Seandainya saya tidak menyusahkan umatku niscaya saya akan memerintahkan mereka untuk berwudhu setiap kali mau shalat, dan bersama wudhu ada bersiwak.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih sebagaimana dalam Al-Muntaqa)

3.Niat hukumnya adalah rukun wudhu, berdasarkan sabda Nabi yang masyhur, “Sesungguhnya setiap amalan -syah atau tidaknya- tergantung dengan niat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4.Didahului dengan bersiwak atau menyikat gigi.
Hal ini berdasarkan sabda beliau, “Seandainya saya tidak takut untuk menyusahkan umatku, niscaya aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu.” (HR. Malik dari Abu Hurairah)

5.Lalu membaca basmalah -dan hukumnya adalah sunnah-, dengan dalil sabda beliau -alaihishshalatu wassalam-, “Berwudhulah kalian dengan membaca bismillah.” (Dihasankan oleh Al-Albani)

6.Mencuci kedua telapak tangan tiga kali dan hukumnya adalah sunnah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

7.Berkumur dan memasukkan sebagian air ke dalam hidung lalu dikeluarkan,

Perlu untuk diperhatikan termasuk di dalamnya madhmadhoh (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dan menghirupnya hingga ke bagian dalam hidung).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian berwudhu hendaklah ia melakukan istinsyaq.” (HR. Muslim). Adapun tentang madhmadhoh, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau berwudhu, maka lakukanlah madhmadhoh.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu majah dengan sanad yang shahih)

Berdasarkan sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Kalau salah seorang di antara kalian berwudhu maka hendaknya dia memasukkan air ke dalam hidungnya kemudian mengeluarkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Beliau menggabungkan antara kumur-kumur dan istinsyaq dengan cara setengah dari air yang beliau ambil, beliau masukkan ke dalam mulut dan setengahnya lagi ke dalam hidung. Beliau istinsyaq dengan tangan kanan dan istintsar dengan tangan kiri, berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib. Dan beliau memerintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam istinsyaq kecuali dalam keadaan berpuasa dengan sabdanya, “Bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air ke hidung kecuali kalau kamu dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Daud dari Laqith bin Saburah)

Sehingga orang yang berwudhu tanpa disertai dengan madhmadhoh dan istinsyaq maka wudhunya tidak sah.

8.Mencuci wajah, dan hukumnya adalah rukun wudhu karena tersebut dalam surah Al-Maidah. Disunnahkan juga ketika mencuci wajah untuk menyelang-nyelingi jenggot.
Mencuci wajah merupakan salah satu rukan wudhu, artinya tidak sah wudhu tanpa mencuci wajah. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu.” (QS. Al-Maidah: 6)

Termasuk salah satu kewajiban dalam wudhu adalah menyela-nyela jenggot bagi yang memiliki jenggot yang lebat berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, beliau mengambil setelapak air kemudian memasukkannya ke bawah dagunya selanjutnya menyela-nyela jenggotnya. Kemudian bersabda, “Demikianlah Rabbku memerintahkanku.” (HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi, Al-Hakim dengan sanad shahih lighoirihi).

9).Kemudian mencuci kedua tangan samapai melewati siku dan beliau juga memerintahkan untuk menyelang-nyelingi jari-jemari. Hukum mencuci tangan samapai ke siku adalah rukun wudhu.,

“Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang wudhu?’” Nabi berkata, “Sempurnakan wudhu-mu, dan sela-selalah antara jari-jemarimu, dan bersungguh sungguhlah dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali jika kamu dalam keadaan berpuasa.” (Diriwayatkan oleh lima imam, dishahihkan oleh Tirmidzi)

Para ulama telah bersepakat tentang wajibnya mencuci kedua tangan ketika berwudhu. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan juga tanganmu sampai dengan siku.” (QS. Al-Maidah: 6)

Perlu untuk diperhatikan bahwa siku adalah termasuk bagian tangan yang harus disertakan untuk dicuci.

10).Mengusap (menyapu) seluruh kepala (termasuk mngusap kedua daun telinga),

Mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat tumbuh rambut bagian depan sampai akhir tumbuhnya rambut dekat tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu (membalik) sampai kembali ketempat semula memulai, kemudian memasukkan masing-masing jari telunjuknya ke telinga dan menyapu bagian daun telinga dengan kedua jempolnya.

Allah berfirman yang artinya, “… dan usaplah kepalamu.” (QS. Al-Maidah: 6). Yang dimaksud dengan mengusap kepala adalah mengusap seluruh bagian kepala mulai dari depan hingga belakang. Adapun apabila seseorang mengenakan sorban, maka cukup baginya untuk mengusap rambut di bagian ubun-ubunnya kemudian mengusap sorbannya. Demikian pula bagi wanita yang mengenakan kerudung.

Adapun mengusap kedua telinga hukumnya juga wajib karena termasuk bagian dari kepala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua telinga termasuk kepala.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Mengusap kedua telinga ini dilakukan setelah mengusap kepala dengan tanpa mengambil air yang baru.

Hadits Abdullah bin Zaid, dimana beliau juga memperagakan sifat wudhu Nabi.

Dia meminta baskom berisi air lalu menuangkan air ke dua telapak tangannya dan mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya kedalam baskom lalu berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar sebanyak tiga kali dari tiga kali mengambil air. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci tangan sampai sikunya sebanyak dua kali. Kemudian dia mengambil air lalu mengusap kepalanya -ke belakang dan ke depan- sebanyak satu kali.Kemudian dia mencuci kedua kakinya.

Dalam sebagian riwayat: Beliau memulai mengusap pada bagian depan kepalanya kemudian mendorong kedua tangannya sampai ke tengkuknya, kemudian kedua tangannya kembali ke bagian depan kepalanya.

11).Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki,

Allah berfirman yang artinya,” dan (cucilah) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

Mencuci kedua kaki -dan hukumnya adalah rukun- sampai melewati mata kaki. Semua bagian kaki harus terkena air wudhu, karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Celakalah bagi tumit-tumit (yang tidak terkena air, pent) dari api neraka.”

Perlu untuk diperhatikan bahwa kedua mata kaki adalah termasuk bagian kaki yang harus disertakan untuk dicuci. Adapun menyela-nyela jari-jari kaki hukumnya juga wajib apabila memungkinkan bagian antar jari tidak tercuci kecuali dengan menyela-nyelanya.

12).Tertib (berurutan).

Muwalat adalah berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu. Maksudnya adalah sebelum anggota tubuh yang dibasuhnya mengering, ia telah membasuh anggota tubuh yang lainnya.

Disunnahkan memulai dengan bagian kanan dalam mencuci semua anggota wudhu yang berjumlah sepasang, kecuali telinga karena keduanya diusap secara bersamaan. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Kalau kalian memakai pakaian dan kalau kalian berwudhu, maka mulailah dengan bagian kanan kalian.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih)

15.Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah berwudhu dengan mencuci setiap anggota wudhu sebanyak satu kali-satu kali, juga pernah dua kali-dua kali dan juga tiga kali-tiga kali. Dan beliau bersabda, “Barang siapa yang menambah lebih dari itu maka sesungguhnya dia telah berbuat jelek, melampaui batas dan berbuat zhalim.”

16.Setelah wudhu disunnahkan membaca doa, “Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarikalah, wa asyhadu anna Muhammadan abduhu warasuluhu. Allahummaj’alni minat tawwabina waj’alni minal mutathahhirina (Saya bersaksi bahwasannya tiada ada illah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Ya Allah jadiknlah saya termasuk golongan orang-orang yang telah bersuci).”

Atau membaca, “Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”

Dalilnya adalah hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang laki-laki yang berwudhu dan meninggalkan bagian sebesar kuku pada kakinya yang belum tercuci. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya maka beliau bersabda,
“Kembalilah dan perbaikilah wudhumu!” (HR. Muslim).

17).Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).

Dalam suatu riwayat dari sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahwasanya Nabi melihat seseorang sedang shalat, sementara di bagian atas kakinya terdapat bagian yang belum terkena air sebesar dirham. Maka Nabi memerintahkannya untuk mengulangi wudhu dan shalatnya.” (HR. Abu dawud, shahih).
Dari hadits di atas, dapat kita ketahui bahwa muwalaat merupakan salah satu rukun wudhu. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mencukupkan diri dalam memerintahkan orang yang belum sempurna wudhunya untuk mencuci bagian yang belum tercuci sebelumnya, namun beliau memerintahkan orang tersebut untuk mengulangi wudhunya.

iv.Sunnah dalam wudhu



Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suka memulai dari sebelah kanan saat mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam seluruh urusan beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)

Dari Abu Hurairah  dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ ْوُضُوءٍ
Sekiranya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu.” (HR. Ahmad dalam beberapa tempat dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 70)

Dari Umar  dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- bahwa beliau bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ أَوْ فَيُسْبِغُ الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudlu, lalu bersungguh-sungguh atau menyempurnakan wudhunya kemudian dia membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WA ANNA MUHAMMADAN ABDULLAHI WARASULUH (Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya) melainkan kedelapan pintu surga akan dibukakan untuknya. Dia masuk dari pintu manapun yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 234)

Dalam riwayat lain dengan lafazh:

مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Barangsiapa yang berwudhu lalu membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKALAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ABDUHU WARASULUH (Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Di antara kesempurnaan wudhu adalah disunnahkan untuk memulai dengan mencuci anggota wudhu yang sebelah kanan sebelum yang kiri, yakni pada kedua telapak tangan, tangan sampai siku, dan kedua kaki. Hanya saja berhubung hukumnya sunnah, maka barangsiapa yang memulai dengan yang kiri maka sungguh dia telah menyelisihi sunnah walaupun dia tidak berdosa dan wudhunya tidak makruh apalagi batal. Dan syariat memulai dengan yang kanan ini berlaku pada semua jenis amalan dan tindakan, berdasarkan hadits Aisyah di atas.

Kemudian, sebelum wudhu, seseorang juga disunnahkan untuk bersiwak. Siwak secara bahasa mempunyai dua makna:

.Akar kayu yang sudah ma’ruf (diketahui bersama) yang digunakan untuk membersihkan gigi.
.Pekerjaan membersihkan gigi.
Karenanya semua pekerjaan membersihkan gigi itu dinamakan bersiwak walaupun tidak menggunakan kayu siwak, menurut pendapat yang paling kuat. Maka jika seseorang tidak mempunyai kayu siwak, dia tetap bisa mengerjakan sunnah yang mulia ini dengan cara membersihkan giginya dengan pasta gigi, atau sekedar dengan sikat gigi atau dengan menggosok giginya dengan kain atau jari, dan seterusnya dari bentuk pekerjaan membersihkan gigi.
Walaupun demikian, tentu saja lebih utama seseorang itu bersiwak dengan kayu siwak, karena inilah yang datang dalam nukila perbuatan Nabi , bahwa beliau bersiwak dengan menggunakan kayu siwak.

Hadits Abu Hurairah tentang siwak di atas juga sebagai sanggahan kepada sebagian ulama yang memakruhkan atau melarang seseorang yang berpuasa untuk bersiwak/menggosok gigi setelah zuhur. Hal itu karena hadits di atas datang dalam bentuk umum ‘setiap kali wudhu’, tanpa ada pembedaan dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- antara sedang puasa dengan tidak puasa. Karenanya tetap disunnahkan seseorang yang berpuasa untuk bersiwak, dan bagi yang menggunakan pasta gigi harus tetap menjaga jangan sampai ada pasta yang tertelan olehnya.

Kemudian, sunnah terakhir yang tersebut dalam dalil-dalil di atas adalah sunnahnya berdoa setelah wudhu dengan doa yang ma`tsur di atas, dan Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah menjanjikan pahala masuk surga bagi siapa saja yang mengucapkannya.

v.Pembatal-pembatal wudhu



Telah kita ketahui bersama bahwa hadats adalah suatu keadaan yang mengharuskan seseorang untuk bersuci, baik itu hadats besar maupun hadats kecil. Dan telah dijelaskan bahwa hadats besar adalah hadats yang hanya bisa dihilangkan dengan mandi junub dan yang semacamnya, sementara hadats kecil adalah yang bisa dihilangkan cukup dengan wudhu, walaupun bisa juga dihilangkan dengan mandi. Edisi kali ini kami akan membahas mengenai pembatal wudhu atau hadats kecil dan sedikit menyinggung tentang hadats besar.

Sebelum kami mulai, maka di sini ada satu kaidah yang perlu diperhatikan, yaitu: Asal seseorang yang telah berwudhu adalah wudhunya tetap syah sampai ada dalil shahih yang menyatakan wudhunya batal. Setelah ini dipahami, maka ketahuilah bahwa pembatal wudhu secara umum terbagi menjadi dua jenis:A.Yang disepakati oleh para ulama bahwa dia adalah pembatal wudhu.

1.Tinja dan kencing.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Atau salah seorang di antara kalian datang dari buang air atau kalian menyentuh wanita lalu dia tidak menemukan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang baik.” (QS. Al-Maidah: 6)
Juga hadits Shafwan bin Assal dia berkata, “Nabi -shallallahu alaihi wasallam- memerintahkan kami kalau kami sedang safar agar kami tidak melepaskan sepatu-sepatu kami selama tiga hari-tiga malam kecuali kalau dalam keadaan junub, akan tetapi kalau buang air besar, kencing dan tidur.” (HR. At-Tirmizi)
Semisal dengannya wadi, dia adalah air yang keluar setelah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang melelahkan atau sesaat setelah selesai kencing. Hukumnya sama seperti kencing.

2. Madzi, yaitu cairan yang keluar dari kemaluan ketika sedang melakukan percumbuan dengan istri atau ketika mengkhayalkan hal seperti itu.
Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda tentang seseorang yang mengeluarkan madzi,
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Kentut.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- memberi fatwa kepada seseorang yang ragu apakah dia kentut dalam shalat ataukah tidak, “Jangan dia memutuskan shalatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid)

4. Semua hadats besar juga adalah pembatal wudhu, yaitu: Keluarnya mani, jima’, haid, nifas, hilangnya akal dengan pingsan, gila atau mabuk dan murtad. Insya Allah semua ini akan kami bahas pada pembahasan mandi wajib.

<>Sedangkan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah dia pembatal wudhu:

1. Tidur.
Ada dua jenis dalil yang lahiriahnya bertentangan di sini. Yang pertama adalah hadits Shafwan bin Assal yang telah berlalu, yang menunjukkan bahwa tidur adalah pembatal wudhu. Yang kedua adalah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa para sahabat pernah lama menunggu Nabi -shallallahu alaihi wasallam- untuk keluar melaksanakan shalat isya, sampai-sampai sebagian di antara mereka tertidur kemudian bangun kemudian tertidur lagi kemudian tertidur lagi, baru setelah itu Nabi keluar untuk mengimami mereka. (HR. Al-Bukhari) Bahkan dalam sebuah riwayat Abu Daud dari Anas disebutkan, “Kemudian mereka mengerjakan shalat dan mereka tidak berwudhu.” Maka hadits ini menujukkan bahwa tidurnya mereka tidak membatalkan wudhu mereka.
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat yang membedakan antara tidur yang nyenyak dengan tidur yang tidak nyenyak atau sekedar terkantuk-kantuk. Yang pertama membatalkan wudhu -dan tidur inilah yang dimaksudkan dalam hadits Shafwan-, sedang tidur yang kedua tidak membatalkan wudhu -dan inilah yang dimaksudkan dalam hadits Anas-, wallahu a’lam. Ini adalah pendapat Malik, Az-Zuhri, Al-Auzai dan yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Rusyd, Ibnu Abdil Barr, Asy-Syaikh Ibnu Bazz dan Asy-Syaikh Muqbil -rahimahumullah-.
[Lihat An-Nail: 1/190, Syarh Muslim karya An-Nawawi: 4/74 dan Al-Ausath: 1/142]

2.Darah istihadhah.

Dia adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita, bukan pada waktu haidnya dan bukan pula karena melahirkan.
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah bahwa darah istihadhah tidaklah membatalkan wudhu, karena tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan hal itu. Dan hukum asal pada wudhu adalah tetap ada sampai ada dalil yang menetapkan batalnya. Asy-Syaukani berkata dalam An-Nail,

“Tidak ada satu pun dalil yang bisa dijadikan hujjah, yang mewajibkan wudhu bagi wanita yang mengalami istihadhah.”

Di antara dalil lemah tersebut adalah hadits Aisyah tentang sabda Nabi kepada seorang sahabiah yang terkena istihadhah, “Kemudian berwudhulah kamu setiap kali mau shalat.” Hadits ini adalah hadits yang syadz lagi lemah, dilemahkan oleh Imam Muslim, An-Nasai, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dan selainnya.
[Lihat Al-Fath: 1/409, As-Sail: 1/149 dan As-Subul: 1/99]

3. Menyentuh kemaluan.

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pernah ditanya oleh seseorang yang menyentuh kemaluannya, apakah dia wajib berwudhu? Maka beliau menjawab,

“Tidak, itu hanyalah bagian dari anggota tubuhmu.” (HR. Imam Lima dari Thalq bin Ali)

Maka hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu.
Tapi di sisi lain beliau -shallallahu alaihi wasallam- juga pernah bersabda,

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Imam Lima dari Busrah bintu Shafwan) Dan ini adalah nash tegas yang menunjukkan batalnya wudhu dengan menyentuh kemaluan.

Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin adalah pendapat yang memadukan kedua hadits ini dengan menyatakan: Menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu akan tetapi disunnahkan -tidak diwajibkan- bagi orang yang menyentuh kemaluannya untuk berwudhu kembali.

Jadi perintah yang terdapat dalam hadits Busrah bukanlah bermakna wajib tapi hanya menunjukkan hukum sunnah, dengan dalil Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tidak mewajibkan wudhu padanya -sebagaimana dalam hadits Thalq-. Wallahu a’lam bishshawab.
[Lihat Al-Ausath: 1/193, A-Mughni: 1/180, An-Nail: 1/301, Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/ 278-284 dan As-Subul: 1/149]

4. Bersentuhan dengan wanita.

Menyentuh wanita -yang mahram maupun yang bukan- tidaklah membatalkan wudhu, berdasarkan hadits Aisyah dia berkata,

“Sesungguhnya Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah mencium sebagian istrinya kemudian beliau keluar mengerjakan shalat dan beliau tidak berwudhu lagi.” (HR. Ahmad, An-Nasai, At-Tirmizi dan Ibnu Majah)

Ini adalah pendapat Daud Azh-Zhahiri dan mayoritas ulama muhaqqiqin, seperti: Ibnu Jarir Ath-Thabari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Ibnu Katsir, dan dari kalangan muta`akhkhirin: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil dan selainnya.
Adapun sebagian ulama yang berdalilkan dengan firman Allah Ta’ala,

“Atau kalian menyentuh wanita …,” (QS. Al-Maidah: 6)

bahwa menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu.
Maka bisa dijawab dengan dikatakan bahwa kata ‘menyentuh’ dalam ayat ini bukanlah ‘menyentuh’ secara umum, akan tetapi dia adalah ‘menyentuh’ yang sifatnya khusus, yaitu jima’ (hubungan intim).
Demikianlah Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib -radhiallahu anhuma- menafsirkan bahwa ‘menyentuh’ di sini adalah bermakna jima’. Hal ini sama seperti pada firman Allah Ta’ala tentang ucapan Maryam,

“Bagaimana mungkin saya akan mempunyai seorang anak sementara saya belum pernah disentuh oleh seorang manusia pun dan saya bukanlah seorang pezina.” (QS. Maryam: 20)

Dan kata ‘disentuh’ di sini tentu saja bermakna jima’ sebagaimana yang bisa dipahami dengan jelas.
Ini juga diperkuat oleh hadits Aisyah riwayat Al-Bukhari dan Muslim bahwa dia pernah tidur terlentang di depan Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- yang sedang shalat.
Ketika beliau akan sujud, beliau menyentuh kaki Aisyah agar dia menarik kakinya. Seandainya menyentuh wanita membatalkan wudhu, niscaya beliau -shallallahu alaihi wasallam- akan membatalkan shalatnya ketika menyentuh Aisyah.
[Lihat An-Nail: 1/195, Fathu Al-Qadir: 1/558, Al-Muhalla: 1/244, Al-Ausath: 1/113 dan Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/286-291]

Catatan:

Menyentuh wanita -baik yang mahram maupun yang bukan- tidaklah membatalkan wudhu, hanya saja ini bukan berarti boleh menyentuh wanita yang bukan mahram. Karena telah shahih dari Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda,

Seseorang di antara kalian betul-betul ditusukkan jarum besi dari atas kepalanya -dalam sebagian riwayat: Sampai tembus ke tulangnya-, maka itu lebih baik bagi dirinya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dari Ma’qil bin Yasar)

5. Mimisan dan muntah, baik memuntahkan sesuatu yang sudah ada di dalam perut atau yang masih berada di tenggorokan.

Semua ini bukanlah pembatal wudhu karena tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan hal tersebut, karenanya kita kembali ke hukum asal yang telah kami sebutkan sebelumnya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahumallah-.
Adapun hadits,
“Barangsiapa yang muntah (dari perut) atau mimisan atau muntah (dari tenggorokan) atau mengeluarkan madzi maka hendaknya dia pergi dan berwudhu.” (HR. Ibnu Majah dari Aisyah)
maka ini adalah hadits yang lemah. Imam Ahmad dan Al-Baihaqi telah melemahkan hadits ini, karena di dalam sanadnya ada Ismail bin Ayyasy dan dia adalah rawi yang lemah.

6. Mengangkat dan memandikan jenazah.

Ada beberapa hadits dalam permasalahan ini, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Barangsiapa yang memandikan mayit maka hendaknya dia juga mandi, dan barangsiapa yang mengangkatnya maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmizi)
Akan tetapi hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Az-Zuhri, Abu Hatim, Ahmad, Ali bin Al-Madini dan Al-Bukhari. Adapun hadits-hadits lainnya, maka kami sendiri pernah mentakhrij jalan-jalannya dan kami menemukannya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-, “Tidak ada satu pun hadits shahih yang ada dalam permasalahan ini.”

vi.Keslahan-kesalahan dalam berwudhu



Wudhu memiliki kedudukan yang penting dalam agama kita. Tidak sahnya wudhu seseorang dapat menyebabkan sholat yang ia kerjakan menjadi tidak sah, sedangkan sholat adalah salah satu rukun Islam yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk memperhatikan bagaimana dia berwudhu. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak diterima sholat yang dilakukan tanpa wudhu dan tidak diterima shodaqoh yang berasal dari harta yang didapat secara tidak halal.” (HR. Muslim)

Kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh kaum muslimin pada tata cara berwudhu diantaranya:

1. Melafazhkan niat.

Kebiasaan salah yang sering dilakukan kaum muslimin ini bukan hanya dalam masalah wudhu saja, bahkan dalam berbagai macam ibadah. Rosululloh tidak pernah melafazhkan niat ketika berwudhu sedangkan orang yang mengamalkan perkara ibadah yang tidak pernah ada contohnya dari Rosululloh maka amalan itu tertolak (Lihat hadits Arba’in Nawawiyah no. 5) dan bahkan akan mendatangkan murka Alloh. Patokan dalam tata cara ibadah adalah mengikuti Rosululloh, bukan akal pikiran atau perasaaan kita sendiri yang akan menjadi hakim mana yang baik dan mana yang buruk. Andaikan itu adalah hal yang baik, mengapa Rosululloh tidak mengajarkannya atau tidak melakukannya? Apa mereka merasa lebih pintar, lebih sholih, lebih bertaqwa, lebih berilmu daripada Rosululloh? Apakah mereka merasa bahwa Rosululloh bodoh terhadap hal-hal yang baik sampai mereka berkarya sendiri? Maka siapakah yang kalian ikuti dalam ibadah ini wahai para pelafazh niat…???

2. Membaca doa-doa khusus dalam setiap gerakan wudhu seperti doa membasuh muka, do’a membasuh kepala dan lain-lain.

Tidak ada riwayat shohih yang menjelaskan tentang hal tersebut.

3. Tidak membaca “bismillah”

padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna wudhu’ sesorang yang tidak membaca basmallah.” (HR. Ahmad)

4. Hanya berkumur tanpa istinsyaq (memasukkan air ke hidung)

padahal keduanya termasuk dalam membasuh wajah. Adapun yang sesuai sunnah adalah menyatukan antara berkumur-kumur dangan beristinsyaq dengan satu kali cidukan berdasarkan hadits Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang tata cara berwudhu. (HR. Bukhari, Muslim)

5. Tidak membasuh kedua tangan sampai siku,

hal ini sering kita lihat pada orang yang berwudhu cepat bagaikan kilat sehingga tidak memperhatikan bahwa sikunya tidak terbasuh. Padahal Alloh Ta’ala berfirman,

“Dan basuhlah kedua tanganmu hingga kedua siku.” (Al Maaidah: 6)

6. Memisah antara membasuh kepala dengan membasuh telinga

padahal yang benar adalah membasuh kepala dan telinga dalam satu kali ciduk. Dan ini hanya dilakukan satu kali, bukan tiga kali seperti pada bagian lain, hal ini berdasarkan hadits dari Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang tata cara berwudhu. (HR. Bukhari, Muslim)

7. Tidak memperhatikan kebagusan wudhunya sehingga terkadang ada anggota wudhunya yang seharusnya terbasuh tetapi belum terkena air.

Rosululloh pernah melihat seorang yang sedang sholat sedangkan pada punggung telapak kakinya ada bagian seluas uang dirham yang belum terkena air, kemudian beliau memerintahkannya untuk mengulang wudhu dan sholatnya.

8. Was-was ketika berwudhu.

Sering kita melihat ketika seseorang berwudhu hingga sampai ke tangannya, dia teringat bahwa lafazh niatnya belum mantap sehingga dia mengulang wudhunya dari awal bahkan kejadian ini terus berulang dalam wudhunya tersebut hingga iqomah dikumandangkan, hal seperti ini adalah was-was dari syaithon yang tidak berdasar. Wallahul musta’an.

Demikianlah sedikit paparan mengenai sekelumit kesalahan dalam berwudhu yang banyak kita jumpai pada kaum Muslimin khususnya di negeri kita ini, semoga bermanfaat dan menjadikan kita lebih memperhatikannya lagi. Wallohu a’lam bish showab.

vii.Sifat wudhu nabi Muhammad saw



Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai dengan siku, dan usaplah kepala-kepala kalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian sampai pada kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

Dari Humran budak Utsman bin Affan dia berkata:
أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ دَعَا بِوَضُوءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الْوَضُوءِ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلَاثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا وَقَالَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Bahwa dia melihat Utsman bin Affan minta untuk diambilkan air wudlu. Lalu beliau menuang bejana itu pada kedua tangannya, lalu dia mencuci kedua tangannya tersebut hingga tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudlunya, kemudian berkumur, menghirup air ke dalam hidung, dan mengeluarkannya. Kemudian beliau mencuci mukanya tiga kali, mencuci kedua tangannya hingga ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengusap kepalanya lalu mencuci setiap kakinya tiga kali. Setelah itu beliau berkata, “Aku telah melihat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia shalat dua rakaat, dan tidak menyibukkan hatinya dalam kedua rakaat itu, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226)

Dari Abdullah bin Zaid ketika beliau memperagakan sifat wudhunya Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

فَأَكْفَأَ عَلَى يَدِهِ مِنْ التَّوْرِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي التَّوْرِ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثَ غَرَفَاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Dia menuangkan air dari gayung ke telapak tangannya lalu mencucinya tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, dan mengeluarkannya kembali dengan tiga kali cidukan. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu membasuh mukanya tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua tangannya dua kali sampai ke siku. Kemudian memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu mengusap kepalanya dengan tangan; mulai dari bagian depan ke belakang dan menariknya kembali sebanyak satu kali. Lalu dia mencuci kedua kakinya hingga mata kaki.” (HR. Al-Bukhari no. 186 dan Muslim no. 235)

Kemudian perlu diketahui bahwa dalam mengetahui sifat wudhu Nabi -alaihishshalatu wassalam-, kebanyakan para ulama bersandarkan pada hadits Utsman bin Affan dan hadits Abdullah bin Zaid yang keduanya adalah riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Karena itu ada baiknya kalau kami menyebutkan kedua hadits ini:

A.Hadits Utsman bin Affan

Dari Humran maula Utsman, bahwa dia melihat Utsman meminta air wudhu: Lalu dia menuangkan air dari bejana ke dua telapak tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu lalu berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkannya). Kemudian dia mencuci wajahnya tiga kali lalu kedua tangan sampai ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya lalu mencuci kedua kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian setelah selesai dia (Utsman) berkata, “Saya melihat Nabi -alaihishshalatu wassalam- berwudhu seperti yang saya lakukan ini.”

B.Hadits Abdullah bin Zaid

Dimana beliau juga memperagakan sifat wudhu Nabi.
Dia meminta baskom berisi air lalu menuangkan air ke dua telapak tangannya dan mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya kedalam baskom lalu berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar sebanyak tiga kali dari tiga kali mengambil air. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci tangan sampai sikunya sebanyak dua kali. Kemudian dia mengambil air lalu mengusap kepalanya -ke belakang dan ke depan- sebanyak satu kali. Kemudian dia mencuci kedua kakinya.
Dalam sebagian riwayat:
Beliau memulai mengusap pada bagian depan kepalanya kemudian mendorong kedua tangannya sampai ke tengkuknya, kemudian kedua tangannya kembali ke bagian depan kepalanya.

============================
Sumber:
1.http://al-atsariyyah.com/di-antara-sunnah-wudhu.html
2.http://al-atsariyyah.com/sifat-wudhu-nabi-shallallahu-alaihi-wasallam.html
3.http://al-atsariyyah.com/pembatal-wudhu.html
4.http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/panduan-praktis-tata-cara-wudhu.html
5.http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pembatal-pembatal-wudhu.html
6.http://www.almanhaj.or.id/content/1535/slash/0

baca selengkapnya » Masalah Wudhu (Rukun,Syarat,Dalil,Sunnah,Sifat,Kesalahan dan Pembatalan)