Masalah Duduk Tasyahud Akhir,Tawarruk atau Iftirasy? ( Duduk Yang Terdapat Salam)



'Dari apa yang telah kami paparkan dari pembahasan tersebut di atas, memberikan kesimpulan bahwa pendapat yang kuat dalam masalah ini adalam pendapat Imam Syafi’i dan yang bersamanya, yang menjelaskan bahwa cara setiap duduk terakhir dalam duduk tasyahud yang terdapat salam yang benar adalah duduk tawarruk / tawwaruq, dan bukan duduk iftirasy.'


Pendapat Para Ulama’ dalam Masalah Cara Duduk Tasyahhud :



Sebelum kita menyebut pendapat yang terkuat dalam masalah duduk pada tasyahhud akhir disetiap shalat, hendaknya kita mengetahui perselisihan yang terjadi dikalangan para ulama dalam masalah ini. Para Ulama telah berselisih pendapat dalam masalah cara duduk tasyahhud secara umum, baik tasyahhud yang pertama maupun tasyahhud yang terakhir menjadi beberapa pendapat:



Pendapat Pertama:
pendapat Imam Malik. Beliau mengatakan: Dianjurkan untuk duduk tawarruk dalam setiap keadaan duduk dalam shalat, apakah pada tasyahhud pertama, atau terakhir, dan pada duduk diantara dua sujud. Dan tidak ada perbedaan antara duduk tersebut, sebagaimana tidak ada perbedaan pula antara duduk laki-laki dan duduk wanita.

Pendapat Kedua:
pendapat Imam Hanafi dan para pengikutnya, dan juga pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Hasan bin Shaleh, Abdullah bin Mubarak, mereka mengatakan: dianjurkan duduk iftirasy pada semua keadaan duduk, baik duduk diantara dua sujud, tasyahhud yang pertama dan terakhir. Ini berkenaan tentang duduk laki-laki. Adapun duduk wanita, maka dia duduk dengan cara yang paling mudah baginya. Dan diriwayatkan dari Asy-Sya’bi.

Pendapat Ketiga:
pendapat Imam Ahmad dan para pengikutnya, dan juga pendapat Dawud dan Ishaq bin Rahuyah, mereka mengatakan: Berbeda antara shalat yang memiliki satu tasyahhud dengan shalat yang memiliki dua tasyahhud. Adapun shalat yang memiliki satu tasyahhud maka duduk akhirnya sama dengan cara duduk diantara dua sujud, yaitu dengan iftirasy, adapun bila shalatnya memiliki dua tasyahhud, maka pada tasyahhud pertama dengan cara iftirasy, sedangkan yang kedua dengan cara tawarruk. Dan ini merupakan pendapat yang paling masyhur dari Imam Ahmad. Dan dalam riwayat Al-Atsram bahwa Imam Ahmad menyebutkan secara nash tentang bolehnya duduk tawarruk pada tasyahhud yang dia mengucapkan salam padanya dari shalat dua raka’at, namun beliau mengatakan: Bahwa duduk iftirasy lebih afdhal.
(Lihat : Fathul Bari, Ibnu rajab Al-Hanbali: 5/164).

Pendapat keempat:
pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Mereka mengatakan: Duduk yang bukan duduk akhir, dengan cara iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahhud akhir, dengan cara tawarruk. Dan tidak ada perbedaan antara shalat yang memiliki dua tasyahhud ataupun satu tasyahhud. Dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Hazm.

Pendapat Kelima:
Adalah pendapat At-Thabari, yang mengatakan bolehnya memilih cara duduk yang mana saja yang dia inginkan yang ada dalilnya dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – . Dan Ibnu Abdil Barr lebih condong kepada pendapat ini, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitabnya “At-Tamhid”.

Alasan Masing-masing Pendapat



• Alasan Pendapat Pertama :

Al-Malikiyyah membangun pendapatnya tersebut kepada hadits yang sahih dari Abdullah bin ‘Umar – radhiyallahu ‘anhuma – dimana beliau berkata:

إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى.
Sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menghamparkan (kaki) kirimu
(HR. Bukhari: /827, bersama Fathul Bari).

Dalam riwayat Imam Malik dalam “Al-Muwaththa”, dalam Bab: Al-’Amal Fil Juluus Fis Shalaah (188), dari Yahya bin Sa’id bahwa Al-Qasim bin Muhammad memperlihatkan kepada mereka cara duduk ketika tasyahhud, lalu beliau menegakkan kaki kanannya dan menghamparkan kaki kirinya, dan duduk di atas warik (warik adalah bagian atas paha) kirinya dan tidak duduk di atas kakinya. Lalu dia berkata: Abdullah bin Abdullah bin ‘Umar telah memperlihatkan kepadaku demikian, dan mengabariku bahwa ayahnya (Abdullah bin ‘Umar) melakukan yang demikian itu.

Yang menjadi syahid dari hadits ini dimana Abdullah bin ‘Umar mengajarkan bahwa duduk yang disyariatkan adalah duduk tawarruk, dan tidak disebutkan apakah duduk tersebut di awal ataukah di akhir yang menunjukkan keumuman lafadz hadits tersebut. Dan perkataan beliau “sunnahnya shalat” menunjukkan bahwa beliau menyandarkan hal tersebut kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – , sebagaimana yang telah diketahui dalam ilmu musthalahul hadits.

Diantara dalil yang mereka sebutkan pula adalah hadits Abdullah bin Mas’ud – radhiyallahu ‘anhu – bahwa beliau berkata:

عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّشَهُّدَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ وَفِي آخِرِهَا قَالَ فَكَانَ يَقُولُ إِذَا جَلَسَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ وَفِي آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى….. الحديث.

Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – mengajarkan tasyahhud kepadaku dipertengahan shalat dan di akhirnya. Lalu berkata: Adalah beliau mengucapkan jika duduk dipertengahan shalat dan di akhir shalat di atas warik (bagian atas paha/bokong)-nya yang kiri…” Al-Hadits.
(HR. Ahmad dalam Al-Musnad: 1/459).

Yang menjadi syahid dari hadits ini adalah penyebutan duduk tawarruk baik dipertengahan shalat maupun diakhir shalat.

• Alasan Pendapat Ke dua :

Al-Hanafiyyah yang berpendapat bahwa semua keadaan duduk dilakukan dengan cara iftirasy, berdalil dengan hadits ‘Aisyah bahwa beliau berkata:

وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى.

Adalah beliau (Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy).”
(HR. Muslim: Bab : Maa Yajma’u Shifatas Shalaah: 1/498).

Juga berdasarkan hadits Wail bin Hujr – radhiyallahu ‘anhu – bahwa beliau berkata:

« رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى ».

Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.”
(HR. Ibnu Khuzaimah (1/691), Al-Baihaqi (2/72), Ahmad (4/316), At-Thabrani (22/33).

Dalam riwayat Tirmidzi dengan lafadz:

فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya.”
(HR. Tirmidzi: 2/292).

Demikian pula diriwayatkan dari Amir bin Abdullah bin Zubair, dari ayahnya berkata:

« كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ ، افْتَرَشَ اْليُسْرَى ، وَنَصَبَ اْليُمْنَى »

Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan.”
(HR. Ibnu Hibban: 5/1943).

Yang menjadi syahid dari beberapa riwayat tersebut di atas adalah penyebutan duduk iftirasy disaat duduk ketika shalat, baik diwaktu tasyahhud maupun bukan, dan baik diraka’at terakhir atau tidak.

• Alasan Pendapat Ke tiga dan Ke empat :

Sebelum kita membahas dalil masing-masing dari kedua pendapat, yaitu antara madzhab Imam Ahmad dan Imam Syafi’i, terlebih dahulu kita fahami bahwa kedua pendapat ini memiliki persamaan dalam satu sisi, dan berbeda pandangan dari sisi yang lain:

-adapun persamaan kedua pendapat ini adalah bahwa kedua-duanya menggabungkan seluruh riwayat yang datang menjelaskan tentang kedua jenis duduk tersebut, yaitu duduk iftirasy dan juga duduk tawarruk. Sehingga semua dalil yang dijadikan alasan oleh madzhab Malikiyyah dan juga Al-Hanafiyyah, diamalkan oleh Imam Ahmad dan juga Imam Syafi’i. Dan mereka juga sepakat dalam hal duduk tasyahhud awal yang tidak ada salam setelahnya.
(Fathul Bari, Ibnu Rajab Al-Hanbali: 5/162. cetakan: daru Ibnul jauzi, cetakan kedua, tahun 1422 H).

-sedangkan letak perbedaannya, adalah dalam menyikapi duduk akhir antara shalat yang memiliki satu tasyahhud dengan shalat yang memiliki dua tasyahhud, sebagaimana yang kami terangkan di atas.

Jika kita telah memahami perkara ini, maka jelaslah bahwa untuk menyebutkan alasan dan dalil dari pendapat Imam Ahmad dan Imam Syafi’i, adalah berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih yang telah disebutkan pada kedua madzhab, yaitu madzhab Imam Malik dan Abu Hanifah. Dan ditambah lagi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari – rahimahullah – dalam shahihnya dari Muhammad bin Amr bin Atha’ bahwa beliau pernah duduk bersama beberapa orang dari shahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -[1] . Lalu kamipun menyebutkan tentang shalatnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – . Lalu berkata Abu Humaid As-Sa’idi :

أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.

Aku adalah orang yang paling menghafal diantara kalian tentang shalatnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Aku melihatnya tatkala bertakbir , menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Dan jika beliau mengangkat kepalanya , maka ia berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Dan jika beliau sujud, maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya), dan menghadapkan jari-jari kakinya kearah kiblat. Dan jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy), dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk diatas tempat duduknya – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).
(HR. Bukhari dalam Kitab Al-Adzan, Bab: Sunnatul Julus Fis Shalaah: 2/828).

Berkata Al-Hafidz: ”dan dalam riwayat Abdul Hamid [2] dengan lafadz:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي يَكُوْنُ فِيْهَا التَّسْلِيْمُ.

Jika pada raka’at yang terdapat padanya salam”,

dan dalam riwayat Ibnu Hibban:

الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةُ الصَّلاَةِ أَخْرَجَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَرِ.

(Raka’at) yang menjadi penutup shalat, maka beliau mengeluarkan kaki kiri dan duduk dengan tawarruk diatas sisi kirinya.”

Ditambah oleh Ibnu Ishaq dalam riwayatnya: ”Lalu beliau mengucapkan salam”, dan dalam riwayatnya dalam riwayat At-Thahawi: ”Tatkala mengucapkan salam, maka dia salam kesebelah kanannya “salaamun ‘alaikum warahmatullah, dan kesebelah kirinya pun seperti itu juga”. Dan dalam riwayat Abu Ashim dari Abdul Hamid dalam riwayat Abu Dawud dan selainnya: Mereka berkata -yaitu para shahabat yang disebutkan- engkau telah benar, memang demikian beliau shalat.”
(Fathul bari:2/360).

Berkata penulis – semoga Allah mengampuninya – : Dan juga dalam riwayat Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (192), dengan lafadz:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ اْلقَعْدَةُ الَّتِي فِيْهَا اْلتَسْلِيْمُ أَخْرَجَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَجَلَسَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَرِ.

Sehingga pada duduk yang padanya terdapat salam, maka beliau menggeser kaki kirinya dan duduk dengan cara tawarruk diatas sisi kirinya.”
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (1/587), dan Tirmidzi (304), Ahmad 5/424), dengan lafadz:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيْهَا الصَّلاَةُ.

Sehingga pada raka’at yang diselesaikannya shalat padanya”,
dan dalam riwayat An-Nasaai (1262), dengan lafadz:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلاَةُ.

Adalah Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika pada dua raka’at yang pada keduanya berakhir shalat”.

Kelemahan Pendapat Al-Malikiyyah dan Al-Hanafiyyah



Kedua pendapat tersebut adalah pendapat yang lemah, hal ini disebabkan karena mereka memandang kepada hadits-hadits yang datang dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang menjelaskan tentang salah satu cara duduk beliau , tanpa menoleh kepada hadits-hadits yang lain yang menjelaskan tentang cara duduk yang berbeda. Sehingga kalau kita mengamalkan seperti amalan madzhab Malikiyyah, berarti kita tidak mengamalkan hadits-hadits yang menyebutkan tata cara duduk iftirasy, demikian pula halnya jika kita mengamalkan seperti amalan madzhab Al-Hanafiyyah, berarti kita meninggalkan beramal dengan hadits-hadits yang menjelaskan tentang cara duduk tawarruk.

Berkata Abul Ula Al-Mubarakfuri:

وَاْلحَاصِلُ أَنَّهُ لَيْسَ نَصٌّ صَرِيْحٌ فِيْمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مَالِكٌ وَمَنْ مَعَهُ وَلاَ فِيْمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَمَنْ مَعَهُ, وَأَمَّا مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَمَنْ مَعَهُ فَفِيْهِ نَصٌّ صَرِيْحٌ فِهذاَ اْلمَذْهَبُ الرَّاجِحُ.

kesimpulannya bahwa tidak terdapat nash yang jelas dari apa yang menjadi pegangan Imam Malik dan yang bersamanya, dan tidak pula apa yang menjadi pegangan Abu Hanifah dan yang bersamanya. Adapun yang menjadi pendapat Imam Syafi’i dan yang bersamanya, maka padanya terdapat nash yang jelas , maka inilah madzhab yang kuat.”
(Tuhfatul Ahwadzi: 2/155).

Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Hazm – rahimahullah – setelah menyebutkan madzhab Imam Malik dan Abu Hanifah:

” وَعَلَى كِلاَ اْلقَوْلَيْنِ خَطَأٌ وَخِلاَفٌ لِلسُّنَّةِ الثَّابِتَةِ الَّتِي أَورَدْنَا – يَعْنِي حَدِيْث أَبِي حُمَيْدٍ – “

Dan kedua pendapat tersebut salah,dan menyelisihi sunnah yang tsabit yang telah kami sebutkan (yaitu hadits Abu Humaid)”.
(Al-Muhalla, Ibnu Hazm: 4/127).

Terkhusus riwayat Abdullah bin Mas’ud yang dijadikan pegangan oleh madzhab Malikiyyah tentang duduk tawarruk pada awal atau akhir shalat, adalah riwayat yang berasal dari jalan Muhammad bin Ishaq bin Yasar, ia berkata: Abdurrahman bin Al-Aswad bin Yazid An-Nakha’i telah memberitakan kepadaku tentang tasyahhud Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dipertengahan shalat dan diakhirnya, dari ayahnya dari Abdullah bin Mas’ud……Al-Hadits.

Muhammad bin Ishaq tersebut di atas, meskipun dia seorang perawi yang jujur, yang asal hukum riwayatnya dihasankan, namun dalam riwayat ini dia telah menyelisihi para perawi yang lebih terpercaya, yang meriwayatkan hadits Ibnu Mas’ud tersebut tanpa menyebutkan lafadz “duduk dipertengahan shalat dan di akhirnya” seperti yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq.

Berkata Adz-Dzahabi:

“Yang nampak bagiku bahwa Ibnu Ishaq adalah hasan haditsnya. Keadaannya baik, jujur, dan apa yang ia bersendiri pada (riwayatnya), terdapat kemungkaran padanya, karena pada hafalannya ada sesuatu (berupa kelemahan).”

Oleh karena itu, Syaikh Al-Albani juga menghukumi hadits ini sebagai hadits yang mungkar.
(Lihat kitab: Ashlu Shifat Shalaat An-Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, karya Al-Albani – rahimahullah -: 3/832).

Tarjih Antara Madzhab Imam Ahmad dan Imam Syafi’i



Barangsiapa yang memperhatikan kedua pendapat tersebut, dia akan mengetahui bahwa pendapat Imam Syafi’i merupakan pendapat yang lebih mendekati kebenaran dan yang berjalan bersama dalil. Hal ini dapat terlihat dari hadits Abu Humaid As-Sa’idi – radhiyallahu ‘anhu -, yang menjelaskan tentang tata cara shalat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – secara terperinci. Berikut ini penjelasan tentang hadits tersebut:

Abu Humaid membedakan antara duduk diakhir shalat dengan duduk yang bukan diakhir shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya dengan lafadz “Dan jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy)”. Dari lafadz ini menunjukkan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat, dan bukan akhir shalat. Lafadz “dua raka’at” bukanlah maksud dari riwayat ini, namun maksudnya adalah “raka’at yang bukan akhir shalat”. Berdasarkan beberapa alasan berikut:

Pertama:
Mafhum dari lafadz setelahnya “Dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir” menunjukkan bahwa lafadz sebelumnya bermakna yang bukan raka’at terakhir.

Kedua:
Mafhum Al-‘Adad menurut para ahli ushul termasuk diantara dalil yang paling lemah. Yang dimaksud Mafhum Al-‘Adad adalah menyandarkan satu hukum kepada bilangan tertentu yang disebut dalam sebuah nash. Seperti contoh, firman Allah Ta’ala:

{ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً } [ النور : 4].

“Maka cambuklah mereka delapan puluh kali cambukan” (QS. An-Nur: 4).

Maka difahami dari ayat ini bahwa pencambukan tersebut dilakukan sebanyak delapan puluh kali, tidak lebih dan tidak pula kurang dari jumlah tersebut. Namun pemahaman ini tidak sepenuhnya bisa dijadikan dalil pada setiap tempat, namun harus dikembalikan kepada penguat (qorinah) yang ada. Seperti contoh hadits Abu Hurairah bahwa beliau berkata:

كَانَ لِسُلَيْمَانَ سِتُّونَ امْرَأَةً فَقَالَ لأَطُوفَنَّ عَلَيْهِنَّ اللَّيْلَةَ فَتَحْمِلُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَتَلِدُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ غُلاَمًا فَارِسًا يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَمْ تَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلاَّ وَاحِدَةٌ فَوَلَدَتْ نِصْفَ إِنْسَانٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَ اسْتَثْنَى لَوَلَدَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ غُلاَمًا فَارِسًا يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.

“Sulaiman memiliki 60 istri, lalu beliau mengatakan: Saya akan berkeliling mendatangi mereka pada malam hari ini, sehingga setiap dari mereka mengandung, lalu setiap dari mereka melahirkan seorang anak yang menjadi penunggang kuda yang akan berperang dijalan Allah. Namun tidak ada yang hamil dari mereka kecuali satu orang yang kemudian melahirkan setengah manusia. Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: Sekiranya ia mengatakan “insya Allah” , niscaya akan melahirkan setiap mereka seorang anak lelaki yang menjadi penunggang kuda dijalan Allah.”
(HR. Muslim, Kitabul Aymaan, Bab: Al-Istitsnaa’: 1654).

Perhatikan penyebutan jumlah 60 istri dalam hadits ini tidak menunjukkan bahwa istri beliau tidak lebih dari itu, berdasarkan riwayat-riwayat lain yang menyebutkan jumlah yang berbeda dari yang disebutkan dalam hadits ini. Berkata An-Nawawi tatkala mengomentari hadits ini:

وَفِي رِوَايَةٍ : (( سَبْعُونَ )) وَفِي رِوَايَةٍ : (( تِسْعُونَ )) وَفِي غَيْرِ صَحِيحِ مُسْلِمٍ (( تِسْعٌ وَتِسْعُونَ )) وَفِي رِوَايَةٍ : (( مِائَةٌ )) . هَذَا كُلُّهُ لَيْسَ بِمُتَعَارِضٍ لأَنَّهُ لَيْسَ فِي ذِكْرِ الْقَلِيْلِ نَفْي الْكَثِيْرِ ، وَقَدْ سَبَقَ بَيَان هَذَا مَرَّات ، وَهُوَ مِنْ مَفْهُومِ الْعَدَدِ ، وَلاَ يُعْمَلُ بِهِ عِنْدَ جَمَاهِيْرِ اْلأُصُولِيِّينَ.

“Dalam satu riwayat “70”, dan dalam riwayat lain “90”, dan dalam riwayat di luar shahih Muslim “99”, dan dalam riwayat lain “100”. Ini semua tidak bertentangan, sebab penyebutan bilangan yang sedikit tidak menafikan yang banyak. Dan telah berkali-kali penjelasan tentang hal ini. Dan ini termasuk mafhum al-‘adad, dan itu tidak diamalkan menurut kebanyakan dari para ahli ushul”.
(Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi: 11/120).

Al-Hafidz Ibnu Hajar juga mengatakan :

وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ دَلاَلَةَ مَفْهُوم الْعَدَدِ لَيْسَتْ يَقِيْنِيَّة إِنَّمَا هِيَ مُحْتَمَلَةٌ

“Dan yang benar bahwa penunjukan mafhum al-‘adad tidaklah yakin, namun hanya bersifat kemungkinan”.
(Fathul Bari: 3/146).

Jika kita telah memahami hal ini, maka penyebutan “dua raka’at” yang tersebut dalam hadits ini bukanlah maksud, namun maknanya adalah “duduk yang bukan raka’at terakhir”. Dan semakin dikuatkan dengan hadits Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa beliau bersabda:

(( فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ)). “Maka jika engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah thuma’ninah, dan hamparkan paha kirimu – agar engkau duduk diatasnya – (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahhud”
(HR. Abu Dawud dari Rifa’ah bin Rafi’, dan Al-Albani berkata: sanadnya hasan. Lihat kitab: Aslu Shifatis Shalaah, Al-Albani: 3/831-832).

Maka hadits ini menjelaskan tentang keadaan duduk iftirasy tersebut dilakukan dipertengahan shalat, sedangkan lafadz hadits Abu Humaid “dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir”, dengan berbagai lafadznya merupakan nash yang bersifat manthuq sharih (yaitu penunjukkan lafadz yang sesuai pada peletakannya), dan manthuq lebih didahulukan daripada mafhum. Wallahul muwaffiq.

Adapun hadits Aisyah, Wail bin Hujr dan Abdullah bin Zubair, yang menjelaskan tentang duduk iftirasy, tidak menyebutkan secara terperinci apakah duduk tersebut dilakukan pada pertengahan shalat ataukah pada akhirnya, yang menunjukkan bahwa hadits tersebut global dan tidak tafshil (terperinci). Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirasy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits Abdullah bin ‘Umar yang menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat.

Jika ada yang berkata: Hadits Wail bin Hujr dan yang semisalnya menyebutkan cara duduk pada shalat dua raka’at, yang menunjukkan keumuman setiap shalat dua raka’at.

Maka kami menjawab: Hadits Ibnu ‘Umar lebih umum lagi, dimana Ibnu ‘Umar mengatakan “sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan raka’at ke berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Maka jika anda beramal dengan keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits Abdullah bin ‘Umar secara umum,dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat.

Demikian pula, kita mengetahui bahwa shalat yang memiliki satu tasyahhud bukan hanya shalat yang berjumlah dua raka’at, namun disana ada shalat yang berjumlah satu raka’at saja, seperti shalat witir, ada pula shalat tiga rakaat dengan satu tasyahhud, empat raka’at dengan satu tasyahhud, lima raka’at dengan satu tasyahhud, tujuh raka’at dimana beliau duduk tasyahhud pada raka’at keenam dan tidak salam, lalu bangkit menuju raka’at yang ketujuh lalu salam, Sembilan raka’at dan beliau duduk diraka’at yang kedelapan dan tidak salam, lalu melanjutkan keraka’at yang kesembilan lalu salam. Nah, bagaimana anda menyikapi shalat tersebut? Sementara shalat tersebut hanya menyebutkan shalat yang “dua raka’at”. Namun jika kita memahaminya sebagaimana yang difahami oleh Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah Ta’ala -, maka setiap permasalahan tentang tata cara duduk tersebut dapat difahami dengan baik berdasarkan hadits-hadits yang datang menjelasakan tentang permasalahan ini.

Kesimpulannya bahwa hadits Abu Humaid – radhiyallahu ‘anhu – adalah hadits yang menjelaskan tentang tata cara Shalat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pada seluruh shalat, apakah itu shalat yang memiliki satu tasyahhud, maupun yang memiliki dua tasyahhud. Jika duduk dilakukan dipertengahan shalat, maka yang dilakukan adalah duduk iftirasy, dan jika duduk dilakukan pada akhir shalat, maka yang dilakukan adalah duduk tawarruk. Sedangkan selain hadits Abu Humaid merupakan hadits yang bersifat umum, maka hadits yang bersifat umum/global tersebut semestinya dibawa kepada hadits Abu Humaid yang merinci dan menjelaskan. Wallahul muwaffiq.

Dan dari kesimpulan ini juga menunjukkan lemahnya pendapat kelima yang mengatakan bolehnya memilih duduk mana saja yang dia inginkan.

Perkataan Para Ulama’ yang Menguatkan Pendapat Imam Syafi’i



Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar – rahimahullah – :

وَفِي هَذَا الْحَدِيْثِ حُجَّةٌ قَوِيَّةٌ لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي أَنَّ هَيْئَةَ الْجُلُوسِ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَوَّلِ مُغَايِرَةٌ لِهَيْئَةِ الْجُلُوسِ فِي اْلأَخِيْرِ ، وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَفِيَّةُ فَقَالُوا : يُسَوِّي بَيْنهمَا ، لَكِنْ قَالَ الْمَالِكِيَّةُ : يَتَوَرَّكُ فِيهِمَا كَمَا جَاءَ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ ، وَعَكَسَهُ اْلآخَرُونَ.
ثُمَّ قَالَ : وَاسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيُّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ تَشَهُّدَ الصُّبْحِ كَالتَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ مِنْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ قَوْلِهُ ” فِي الرَّكْعَةِ اْلأَخِيْرَةِ ” ، وَاخْتَلَفَ فِيهِ قَوْل أَحْمَدَ ، وَالْمَشْهُورُ عَنْهُ اِخْتِصَاصُ التَّوَرُّكِ بِالصَّلاَةِ الَّتِي فِيهَا تَشَهُّدَانِ.

Dalam hadits ini merupakan hujjah yang kuat bagi Imam Asy-Syafi’i dan yang sependapat dengannya bahwa keadaan duduk pada raka’at yang pertama berbeda dengan duduk pada raka’at terakhir. Dan Al-Malikiyyah dan Al-Hanafiyyah menyelisihi hal tersebut dan mengatakan: disamakan antara keduanya. Namun Al-malikiyyah mengatakan: dia bertawarruk pada dua duduk tersebut seperti yang terdapat pada tasyahhud akhir , sedangkan yang satunya (Al-Hanafiyyah) sebaliknya.
Lalu Al-Hafidz melanjutkan: dan Imam Syafi’i menjadikan ini sebagai dalil pula bahwa tasyahhud diwaktu subuh adalah seperti tasyahhud akhir yang berbeda dengan yang lainnya, berdasarkan keumuman perkataannya “pada raka’at terakhir”, dan diperselisihkan perkataan imam Ahmad padanya,dan yang masyhur dari beliau adalah duduk tawarruk dikhususkan pada shalat yang memiliki dua tasyahhud
.
(Fathul Bari:2/360).

Berkata Imam Nawawi – rahimahullah Ta’ala – : berkata Imam Syafi’i dan pendukungnya:

فَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَأَصْحَابِهِ صَرِيْحٌ فِي اْلفَرْقِ بَيْنَ التَّشَهُّدَيْنِ. وَبَاقِيَ اْلأَحَادِيْثُ مُطْلَقَةٌ فَيَجِبُ حَمَلَهَا عَلَى مُوَافَقَتِهِ, فَمَنْ رَوَى التَّوَرُّكَ أَرَادَ اْلجُلُوْسَ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ, وَمَنْ رَوَى اْلاِفْتِرَاشَ أَرَادَ اْلأَوَّلَ. وَهذَا مُتَعَيِّنٌ لِلْجَمْعِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ لاَ سِيَمَا وَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَافَقَهُ عَلَيْهِ عَشَرَةٌ مِنْ كِبَارِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ. وَاللهُ أَعْلَمُ.

Hadits Abu Humaid dan para shahabatnya jelas membedakan antara dua duduk tasyahhud, sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang mutlak , sehingga wajib untuk difahami dengan yang sesuai, maka yang meriwayatkan hadits duduk tawarruk, maka yang dimaksud adalah duduk pada tasyahhud akhir, dan yang meriwayatkan duduk iftirasy , yang dimaksud adalah tasyahhud awal. dan harus dilakukan untuk menggabungkan antara hadits-hadits yang shahih , terlebih lagi hadits Abu Humaid As-Sa’idi telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar shahabat radhiallahu anhum. Wallahu a’lam”.
(Lihat Kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/431. cetakan daar Ihyaa’ At Turats Al-’Arabi, tahqiq Muhammad Najib Al-Muthi’i. Lihat pula dalam Syarah Muslim: 2/81)

Dan berkata Al-Mubarakfuri – rahimahullah – :

وَاْلإِنْصَافُ أَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ حَدِيثٌ يَدُلُّ صَرِيحًا عَلَى اِسْتِنَانِ الْجُلُوسِ عَلَى الرِّجْلِ الْيُسْرَى فِي الْقَعْدَةِ اْلأَخِيرَةِ ، وَحَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ مُفَصَّلٌ فَلْيُحْمَلْ الْمُبْهَمُ عَلَى الْمُفَصَّلِ.

Secara insaf bahwa tidak didapatkan satupun hadits yang menunjukkan secara jelas tentang disunnahkannya duduk diatas kaki kiri (duduk iftirasy, pen) pada duduk terakhir. Dan hadits Abu Humaid terperinci, sehingga yang global dibawa maknanya kepadanya yang terperinci”.
(Tuhfatul Ahwadzi: 2/156)

Berkata Abut Thayyib Aabadi – rahimahullah – :

وَفِي حَدِيث أَبِي حُمَيْدٍ حُجَّةٌ قَوِيَّةٌ صَرِيحَةٌ عَلَى أَنَّ الْمَسْنُونَ فِي الْجُلُوسِ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَوَّلِ الاِفْتِرَاشُ وَفِي الْجُلُوسِ فِي اْلأَخِيْرِ التَّوَرُّكُ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيّ وَهُوَ الْحَقُّ عِنْدِي وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَم.

“Dalam hadits Abu Humaid merupakan hujjah yang kuat dan jelas bahwa yang disunnahkan duduk pada tasyahhud pertama dengan iftirasy dan pada duduk akhir dengan tawarruk. Dan ini adalah madzhab Syafi’i dan inilah yang benar menurutku. Wallahu ta’ala a’lam.
(Aunul Ma’bud: 3/171).

Asy-Syaukani – rahimahullah – mengatakan:

وَالتَّفْصِيلُ الَّذِي ذَهَبَ إلَيْهِ أَحْمَدُ يَرُدُّهُ قَوْلُ أَبِي حُمَيْدٍ فِي حَدِيثِهِ اْلآتِي )) فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلأَخِيرَةِ (( وَفِي رِوَايَةٍ ِلأَبِي دَاوُد )) حَتَّى إذَا كَانَتْ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ ((.

“Dan rincian yang menjadi pendapat Imam Ahmad tertolak dengan ucapan Abu Humaid dalam haditsnya “jika duduk pada raka’at terakhir” dan pada riwayat Abu Dawud “hingga pada raka’at yang padanya terdapat salam”.
(Nailul Authar: 1/563) [3]

Dan pendapat Imam Syafi’i ini juga dikuatkan oleh Ibnu Hazm – rahimahullah Ta’ala -. Berkata Ibnu Hazm – rahimahullah Ta’ala – :

” فَفِيْ الصَّلاَةِ أَرْبَعُ جَلَسَاتٍ : جِلْسَةُ بَيْنَ كُلِّ سَجْدَتَيْنِ, وَجِلْسَةُ إِثْرِ السَّجْدَةِ الثَّانِيَّةِ مِنْ كُلِّ رَكْعَةٍ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ بَعْدَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَّةِ, يَقُوْمُ مِنْهَا إِلىَ الثَّالِثَةِ فِيْ اْلمَغْرِبِ, وَاْلحَاضِرُ فِيْ الظُّهْرِ وَاْلعَصْرِ وَاْلعِشَاءِ اْلآخِرَةِ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ فِيْ آخِرِ كُلِّ صَلاَةٍ, يُسَلِّمُ فِيْ آخِرِهَا. وَصِفَةُ جَمِيْعِ اْلجُلُوْسِ اْلمَذْكُوْرِ أَنْ يَجْعَلَ أَلِيْتِهِ اْليُسْرَى عَلَى بَاطِنِ قَدَمِهِ اْليُسْرَى مُفَتَرِشًا لِقَدَمِهِ, وَيَنْصِبُ قَدَمَهُ اْليُمْنَى ,رَافِعًا لِعَقِبِهَا,مُجَلِّسُا لَهَا عَلَى بَاطِنِ أَصَابِعِها, إِلاَّ اْلجُلُوْس الّذِيْ يَلِي السَّلاَم مِنْ كُلِّ صَلاَةٍ, فَإِنَّ صِفَتَهُ أَنْ يَفْضِيَ بِمَقَاعِدِهِ إِلىَ مَا هُوَ جَالِسٌ عَلَيْهِ, وَلاَ يَجْلِس عَلىَ بَاطِنِ قَدَمِهِ فَقَطّ “.

Di dalam shalat ada empat keadaan duduk: duduk diantara dua sujud, duduk setelah sujud kedua dari setiap raka’at (duduk istirahat-pen-), duduk tasyahhud setelah raka’at kedua, lalu bangkit menuju raka’at ketiga pada shalat maghrib, dan shalat muqim (tidak musafir) pada shalat dzuhur, Ashar dan Isya , dan duduk untuk tasyahhud pada akhir setiap shalat, yang dia mengucapkan salam pada akhirnya. Dan cara duduk semua duduk yang disebutkan adalah dengan menjadikan bokong kirinya berada di atas telapak kaki kirinya dengan menidurkan kakinya tersebut, dan menegakkan kaki kanannya, mengangkat tumitnya mendudukkannya diatas bagian dalam jari jemari (kakinya) tersebut (maksud beliau adalah duduk iftirasy -pen-). Kecuali duduk yang diikuti dengan salam dari setiap shalat, maka sesungguhnya caranya adalah dengan melekatkan tempat duduknya di bokongnya) ke tempat yang dia duduk di atasnya, dan tidak hanya duduk di atas telapak kakinya.”
(Al-Muhalla: 4/125).

Semoga penjelasan ini dapat kita fahami dengan baik dan memberikan tambahan ilmu kepada para pembaca sekalian. wallahul haadii ilaa sabiilir rasyaad.

Kesimpulan



Dari apa yang telah kami paparkan dari pembahasan tersebut di atas, memberikan kesimpulan bahwa pendapat yang kuat dalam masalah ini adalam pendapat Imam Syafi’i dan yang bersamanya, yang menjelaskan bahwa cara duduk terakhir yang benar adalah duduk tawarruk, dan bukan duduk iftirasy.

Dan disaat kami menguatkan pendapat ini, bukan berarti kami mencela pendapat yang menyelisihi pendapat kami, apabila yang nampak baginya menyelisihi apa yang telah kami sebutkan, dan demikian pula sebaliknya. Namun bagi seorang muslim, setelah nampak baginya pendapat yang lebih kuat dalam satu masalah, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menyatakan “kebenaran lebih patut untuk diikuti”.

Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua, dan semoga Allah senantiasa memberikan istiqamah kepada kita, agar terus berjalan diatas jalan Allah – subhanahu wa ta’ala – , hingga kita bertemu dengan-Nya.

Al-Maraji’:

1) Shahih Bukhari, bersama Fathul Bari karangan Ibnu Hajar Al-Asqalani.
2) Fathul Bari, Ibnu Rajab Al-Hanbali.
3) Shaih Muslim, bersama syarah Nawawi
4) Musnad Imam Ahmad.
5) Al-Muntaqa, Ibnul Jarud.
6) Al-Muwaththa’, Imam Malik.
7) Jami’ At-Tirmidzi, bersama Tuhfatul ahwadzi.
8) At-Tamhid, Ibnu Abdil Barr.
9) Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Dawud.
10) Al-Mujtaba, Imam An-Nasaai.
11) Sunan Ibnu majah.
12) Shahih Ibnu Khuzaimah.
13) Shahih Ibnu Hibban, bersama “Al-Ihsan”.
14) As-Sunan Al-kubra, Al-Baihaqi.
15) Al-Mu’jam Al-kabir, Ath-Thabrani.
16) Al-Muhalla, Abu Muhammad Ibnu Hazm.
17) Al-Majmu’, Syarhul Muhadzdzab, Imam Nawawi.
18) Al-Mughni, Ibnu Qudamah.
19) Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd.
20) Nailul Authar, Asy-Syaukani.
21) As-Sailul Jarrar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani.
22) Ashlu Shifatis Shalaah, Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
23) Shalaat At-Taraawiih, Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

Foot Note :

[1] Namun Asy-Syaukani – rahimahullah – berpendapat bahwa boleh duduk iftirasy pada raka’at terakhir yang padanya terdapat dua tasyahhud, namun duduk tawarruk lebih afdhal, disebabkan karena hadits-hadits yang datang tentang duduk tawarruk lebih banyak dan lebih jelas.(lihat pula kitab : As-sailul jarrar, Asy-Syaukani: 1/220. Cetakan darul kutub al-ilmiyyah, cetakan pertama.

[2] Abdul Hamid yang dimaksud adalah Abdul Hamid bin Ja’far Al-Anshari Al-Ausi Abul Fadhl, yang meriwayatkan hadits dari Muhammad bin Amr bin Atha’ dari Abu Humaid As-Sa’idi.

[3] Dalam riwayat lain: bersama sepuluh shahabat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa (192), Abu Dawud (963), At-Tirmidzi (304), Ibnu Majah (1061

Sumber:http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=887

baca selengkapnya » Masalah Duduk Tasyahud Akhir,Tawarruk atau Iftirasy? ( Duduk Yang Terdapat Salam)

Menjawab Hujatan




Tidak harus melalui dan mengetahui semua ilmu tentang Islam terlebih dahulu untuk beriman kepada Allah سبحانه وتعالى.
Dengan adanya alam ghaib,banyak diantaranya syaitan dan jin kafir yang tidak menyukai terhadap ayat-ayat Al-Qur'an sebenarnya sudah bukti nyata bagi kita yang berakal untuk meyakini dan ini bukti bahwa Allah سبحانه وتعالى memberikan pengetahuan kepada mahluk-mahlukNya hanya sebatas apa yang dikehendaki-Nya.



Bismillah

Sebagai penulis blog ini,pertama dan utama sekali saya ucapkan puji syukur kepada Allah سبحانه وتعالى yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga pada kesempatan ini penulis dapat kesempatan untuk sedikit menjawab hujatan yang telah ditujukan kepada Agama Islam yang tercinta ini.
Kemudian shalawat serta salam untuk Nabi kita Muhammad salallahu'alaihi wassalam,yang telah bersusah payah memperjuangkan agama yang kita cintai ini dan yang pula membimbing kita untuk masuk surga,dan untuk demi tegaknya kalimat tauhid dipermukaan bumi ini,begitu pula untuk para keluarga dan sahabat Beliau serta orang-orang yang setia berpegang teguh dengan ajaran Beliau sampai kemudian hari nanti.


Apa Hukum Berdebat tentang Agama dalam Islam?



Dari Abu Umamah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

“Tidaklah suatu kaum tersesat setelah tadinya mereka berada di atas petunjuk kecuali karena mereka adalah kaum yang senang melakukan perdebatan.”

Kemudian beliau membaca ayat ini,

“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud berdebat saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS. Az-Zukhruf: 58) (HR. At-Tirmizi no. 3253, Ibnu Majah no. 47, dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5633)

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

“Sesungguhnya orang yang paling dimurkai Allah adalah orang yang paling keras permusuhannya dan yang menantang jika diterangkan hujjah kepadanya”. (HR. Al-Bukhari no. 2457 dan Muslim no. 2668)

Dari Abu Umamah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

“Aku akan menjamin sebuah rumah di tepi surga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan meskipun dia yang benar. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan kedustaan walaupun dia sedang bergurau. Dan aku juga menjamin rumah di surga yang paling tinggi bagi siapa saja yang berakhlak baik.” (HR. Abu Daud no. 4800 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1464)

Perdebatan dalam agama yang tidak sesuai dengan aturan syar’i merupakan salah satu di antara penyakit lisan yang sangat berbahaya. Dia merupakan sebab terjadinya perpecahan, pemutusan hubungan, saling menjauhi di antara sesama kaum muslimin. Perdebatan juga bisa menjadi sebab keras dan sesaknya hati karena bisa melahirkan kedengkian kepada kaum muslimin lainnya, plus banyaknya waktu yang terbuang akibat melakukan perdebatan ini dan kurangnya manfaat yang lahir darinya.

Karenanya Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah menutup semua wasilah menuju kepada perdebatan yang tidak bermanfaat, dengan memberikan janji surga kepada orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia yang benar, dan sebaliknya Allah sangat murka kepada orang-orang yang bergampangan terjun dalam perdebatan tanpa mengindahkan aturan-aturan syariat di dalamnya.

Dan telah benar Allah dan Rasul-Nya, bahwa setiap orang yang terjun ke dalam perdebatan yang tidak berguna pasti akan berakhir pada kesesatan, kecuali mereka yang masih dirahmati oleh Allah, dan sangat sedikit sekali jumlah mereka ini. Tidakkah kita mengambil pelajaran dari orang-orang yang telah berlalu sebelum kita, yang mereka ini lebih berilmu dibandingkan kita, bagaimana akhirnya mereka terjerumus ke dalam kesesatan akibat mereka berdebat dalam masalah agama, walaupun ada segelintir di antara mereka yang masih bisa kembali kepada kebenaran. Sebut saja di antaranya: Jahm bin Shafwan penyebar mazhab Jahmiah, Washil bin Atha’ pencetus mazhab Mu’tazilah, Imam Al-Ghazali, Fakhrur Razi, Asy-Syahrastani, dan selainnya.
Karenanya para ulama di setiap zaman menegaskan dalam kitab-kitab akidah mereka, bahwa di antara ciri khas ahlussunnah adalah menjauhi semua bentuk perdebatan. Karenanya siapa saja yang terjun dalam perdebatan dalam agama maka dia telah bermain-main di daerah terlarang, yang bisa mengeluarkan dia dari ahlussunnah. Hanya saja walaupun demikian, para ulama tetap memberikan persyaratan yang sangat ketat mengenai kapan perdebatan dibolehkan. Hal itu karena ada segelintir ulama (tidak banyak) yang diketahui mengadakan perdebatan dengan pengikut hawa nafsu (seperti Imam Ahmad, Utsman bin Said Ad-Darimi, dan Ibnu Taimiah), bahkan para nabipun berdebat dengan kaumnya.

Maka ini menunjukkan bahwa hukum asal perdebatan dalam agama adalah haram, kecuali jika terpenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
1. Ikhlas guna meninggikan kalimat Allah, bukan dengan niat untuk menjadi tenar.
2. Orang yang berdebat harus mapan keilmuannya dalam masalah yang dia perdebatkan. Jika dia orang yang jahil atau ilmunya masih setengah-setengah maka diharamkan atasnya
3. Dia yakin -atau dugaan besar- dia bisa menang. Jika dia tidak yakin bisa menang maka dia wajib meninggalkan perdebatan itu.
4. Ada kemungkinan pihak lawan jika dia kalah maka dia akan kembali kepada kebenaran. Jika pihak lawan diketahui sebagai orang yang keras kepala dan tidak akan bertaubat walaupun kalah maka tidak boleh berdebat dengannya.
5. Jika dia tidak berdebat maka kebenaran akan tertutupi dan kebatilan yang akan menyebar.
6. Ada maslahat darinya, baik yang kembalinya kepada pihak lawan dengan dia bertaubat maupun yang kembalinya kepada masyarakat dengan mereka menjauhi pihak lawan tersebut. Adapun jika tidak ada manfaatnya sama sekali, walaupun mereka kalah tapi masyarakat tetap tidak goyah dalam mengikuti mereka maka ini perdebatan itu adalah perbuatan sia-sia.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah Melarang Perdebatan dan Permusuhan Dalam Agama.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dari hal tersebut.
Dalam Ash-Shohihain dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda :

اِقْرَأُوْا الْقُرْآنَ مَا ائْتَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوْبُكُمْ فَإِذَا اخْتَلَفْتُمْ فَقُوْمُوْا عَنْهُ

“Bacalah Al-Qur`an selama hati-hati kalian masih bersatu, maka jika kalian sudah berselisih maka berdirilah darinya”.

Dan dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah –dan asalnya dalam Shohih Muslim- dari ‘Abdullah bin ‘Amr :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وَهُمْ يَخْتَصِمُوْنَ فِي الْقَدْرِ فَكَأَنَّمَا يَفْقَأُ فِي وَجْهِهِ حُبُّ الرُّمَّانِ مِنَ الْغَضَبِ، فَقَالَ : بِهَذَا أُمِرْتُمْ ؟! أَوْ لِهَذَا خُلِقْتُمْ ؟ تَضْرِبُوْنَ الْقُرْآنَ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ!! بِهَذَا هَلَكَتِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar sedangkan mereka (sebagian shahabat-pent.) sedang berselisih tentang taqdir, maka memerahlah wajah beliau bagaikan merahnya buah rumman karena marah, maka beliau bersabda

“Apakah dengan ini kalian diperintah?! Atau untuk inikah kalian diciptakan?! Kalian membenturkan sebagian Al-Qur’an dengan sebagiannya!! Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa”.

Bahkan telah datang hadits (yang menyatakan) bahwa perdebatan adalah termasuk dari siksaan Allah kepada sebuah ummat. Dalam Sunan At-Tirmidzy dan Ibnu Majah dari hadits Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ : مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً

“Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka berdebat, kemudian beliau membaca (ayat) “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja”.

Imam Ahmad rahimahullah berkata :

“Pokok-pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atasnya dan mencontoh mereka. Meninggalkan semua bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat. Meninggalkan permusuhan dan (meninggalkan) duduk bersama orang-orang yang memiliki hawa nafsu. Dan meninggalkan perselisihan, perdebatan dan permusuhan dalam agama”.

Perdebatan Yang Tercela:

Yaitu semua perdebatan dengan kebatilan, atau berdebat tentang kebenaran setelah jelasnya, atau perdebatan dalam perkara yang tidak diketahui oleh orang-orang yang berdebat, atau perdebatan dalam mutasyabih (1) dari Al-Qur’an atau perdebatan tanpa niat yang baik dan yang semisalnya.

Perdebatan Yang Terpuji:

Adapun jika perdebatan itu untuk menampakkan kebenaran dan menjelaskannya, yang dilakukan oleh seorang ‘alim dengan niat yang baik dan konsisten dengan adab-adab (syar’iy) maka perdebatan seperti inilah yang dipuji. Allah Ta’ala berfirman :

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An-Nahl : 125)

Dan Allah Ta’ala berfirman :

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik”. (QS. Al-‘Ankabut : 46)

Dan Allah Ta’ala berfirman :

قَالُوا يَانُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

“Mereka berkata: “Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”.
(QS. Hud : 32)

Contoh-Contoh Perdebatan Syar’i:

Allah Ta’ala mengkhabarkan tentang perdebatan Ibrahim ‘alaihis shalatu wassalam melawan kaumnya dan (juga) Musa ‘alaihis shalatu wassalam melawan Fir’aun.
Dan dalam As-Sunnah disebutkan tentang perdebatan antara Adam dan Musa ‘alaihimas shalatu wassalam. Dan telah dinukil dari salafus shaleh banyak perdebatan yang semuanya termasuk perdebatan yang terpuji yang terpenuhi di dalamnya (syarat-syarat berikut) :

1. Ilmu (tentang masalah yang diperdebatkan-pent.).
2. Niat (yang baik-pent.).
3. Mutaba’ah.
4. Adab dalam perdebatan.
___________
(1) Yaitu ayat-ayat yang kurang jelas maknanya pada sebagian orang karena adanya beberapa kemungkinan makna.

Sumber:
1.http://al-atsariyyah.com/tercelanya-perdebatan.html
2.http://al-atsariyyah.com/larangan-berdebat-dalam-agama.html



Coba Kita Koreksi kembali Islam pada Diri Kita sebagai Umat Muslim



Secara logis dan penalaran mengambil dari pemikiran gaya baru yang mencoba memadukan dengan budaya kini dan kuno,memang mereka (para penghujat Islam) dapat membuat hal yang sedemikian rupa,mencoba menerobos akal pikiran dan doktrin-doktrin yang bersifat nyata (membandingkannya dengan budaya saat ini,sedangkan saat ini orang muslim awam lebih membela kebebasan mereka daripada sunnah dari Rasulallah salallahu'alaihi wassalam-pent) kepada para muslim yang awam dan sedikit akan pengetahuan agama.

Memang tidak bisa kita pungkiri,adanya para wali sanga yang dahulu mencoba mengajak para orang-orang yang tersesat terdahulu (saat budaya Hindu di Indonesia) dengan cara memadukannya (bukan berarti ajaran Islam dicampur Hindu-pent) dengan budaya hindu saat itu,sangat mempengaruhi kemurnian ajaran Islam itu sendiri untuk saat sekarang.
Timbullah berbagai bid'ah (sesuatu baru yang diadakan-adakan dalam agama yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad salallahu'alaihi wassalam dan tidak pula disyari'atkan atau tidak ada dalil dan nash yang hasan/shahih) yang berakibat membawa Islam hilang dari kemurniannya.
Ini yang menyebabkan mengapa Islam meskipun satu,tapi begitu banyak memiliki aliran-aliran,golongan dan bahkan berbagai manhaj yang berbeda-beda.

Dari sinilah mereka (para penghujat Islam) mencoba mencampur aduk ajaran Islam yang belum tentu kesahihanya tersebut dan melemparkan berbagai fitnah,hujatan,pertanyaan,ajakan murtad,dll pada kaum muslimim yang masih begitu awam akan agamanya.

Dan apa yang terjadi? kita yang BELUM bernaung dalam agama Islam yang benar-benar berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan sunnah tentu akan timbul keragu-raguan dan terombang ambing menghadapi berbagai fitnah dan hujatan mereka (para penghujat Islam) karena kurangnya pengetahuan.

"Dan hati-hatilah kepada manhaj yang mengaku ahlussunnah wal jama'ah padahal yang sebenarnya mereka adalah ahlul bid'ah dan menyeret kita kedalam penistaan agama,kesesatan seperti LDII,dll.
Agama Islam adalah agama yang sudah disempurnakan,tidak ada penambahan maupun pengurangan dalam hal sekecil apapun,hanya sekarang bagi kita,seberapa besar keinginan,amalan dan praktek kita dalam belajar ilmu Islam agar selalu berjalan diatas sunnah.
"

Untuk itu,saya sebagai penulis mengajak seluruh umat muslim untuk senantiasa benar-benar dalam menjalankan agamanya yang tentu berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan Hadits yang Sahih (Hasan).
Hadits yang shahih ini adalah hadits (sabda Nabi Muhammad salallahu'alaihi wassalam yang dibukukan oleh para sahabat dengan sanad yang sahih/benar).
Jika sebuah hadits yang saat ditanya sanadnya(urutan-urutan perawi hadits) dan melewati salah satu perawi yang dikenal buruk,lemah hafalanya,perawi ahlul bid'ah maka hadits tersebut dinyatakan lemah/dha'if dan tidak boleh diamalkan.

Lalu bagaimana kita agar dapat selalu berjalan diatas Qur'an dan Sunnah dan mengetahui lemah tidaknya atau dha'if dan shahihnya sebuah hadits?
Senantiasa selalu memohon petunjuk Allah سبحانه وتعالى serta tak berhenti selalu belajar dari majelis-majelis ahlussunnah wal jama'ah,buku, dan mereka-mereka yang selalu berusaha sekuat tenaga berjalan diatas Qur'an dan Sunnah.

Nah,mereka(para penghujat Islam) memaparkan dan menshahihkan hadits-hadits yang dha'if atau lemah tersebut (menggunakan hadits lemah/palsu untuk dinyatakan asli atau sahih) sebagai senjata mereka dalam mencoba meneggelamkan cahaya Allah سبحانه وتعالى.

Allah سبحانه وتعالى telah berfirman dalam Al-Qur'an Surat At-Taubah Ayat 32:

" Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka,dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya,walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai"

Dan perlu digarisbawahi,mereka(para penghujat Islam) tidak akan pernah dapat menerima sebuah berita yang benar,karena Allah سبحانه وتعالى telah berfirman dalam:

Al-Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 6 :

"Sesungguhnya orang-orang kafir,sama saja bagi mereka,kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan,mereka tidak juga akan beriman"

Al-Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 7 :

"Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka(1),dan penglihatan mereka ditutup(2),dan bagi mereka siksa yang amat pedih"

**
(1)Yakni orang itu tidak dapat menerima petunjuk,dan segala macam nasehatpun tidak akan berbekas padanya
(2)Maksudnya,mereka tidak dapat memperhatikan dan memahami ayat-ayat Al-Qur'an yang mereka dengar dan tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka lihat di cakrawala,dipermukaan bumi dan pada diri mereka sendiri.

Satu lagi firman Allah yang menerangkan bahwa justru apa yang mereka(para penghujat Islam) lakukan adalah bentuk mempermalukan dan memperbodoh diri mereka sendiri.

Allah berfirman dala Al-Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 13:

"Apabila dikatakan kepada mereka:'Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman',mereka menjawab:'Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?' Ingatlah sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh tetapi mereka tidak tahu"
baca selengkapnya » Menjawab Hujatan

Masalah Niat Shalat



"Melafadzkan niat tidak ada asalnya dalam As-Sunnah. Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam yang membolehkan melafadzkan niat. Tidak ada pula seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik. Demikian pula para imam yang empat. Sementara kita maklumi bahwa yang namanya kebaikan adalah mengikuti bimbingan As-Salafush Shalih."


Penegasan I



Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Hanyalah amal itu dengan niat dan setiap orang hanyalah beroleh apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 54 dan Muslim no. 4904)

Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Niat adalah maksud. Maka orang yang hendak shalat menghadirkan dalam benaknya shalat yang hendak dikerjakan dan sifat shalat yang wajib ditunaikannya, seperti shalat zhuhur sebagai shalat fardhu dan selainnya, kemudian ia menggandengkan maksud tersebut dengan awal takbir.” (Raudhatuth Thalibin, 1/243-244)

Sudah berulang kali disebutkan bahwa niat tidak boleh dilafadzkan. Sehingga seseorang tidak boleh menyatakan sebelum shalatnya, “Nawaitu an ushalliya lillahi ta’ala kadza raka’atin mustaqbilal qiblah...” (Aku berniat mengerjakan shalat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak sekian rakaat dalam keadaan menghadap kiblat...).
Melafadzkan niat tidak ada asalnya dalam As-Sunnah. Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam yang membolehkan melafadzkan niat. Tidak ada pula seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik. Demikian pula para imam yang empat. Sementara kita maklumi bahwa yang namanya kebaikan adalah mengikuti bimbingan As-Salafush Shalih.

Ada kesalahpahaman dari sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap ucapan beliau, dalam masalah haji, “Apabila seseorang berihram dan telah berniat dengan hatinya, maka ia tidak diharuskan menyebut niat itu dengan lisannya. Haji itu tidak seperti shalat, di mana tidak sahih penunaiannya terkecuali dengan nathq (pelafadzan dengan lisan).”

Maka hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam kitab Al-’Aziz Syarhul Wajiz yang dikenal dengan nama Syarhul Kabir (1/470): “Jumhur ulama kalangan Syafi’iyyah berkata: ‘Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya– tidaklah memaksudkan dengan ucapannya tersebut adanya pelafadzan niat dengan lisan (tatkala hendak mengerjakan shalat). Yang beliau maksudkan adalah takbir (yaitu takbiratul ihram, pen.), karena dengan takbir tersebut sahlah shalat yang dikerjakan. Sementara dalam haji, seseorang menjadi muhrim walaupun tanpa ada pelafadzan.”


Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan, “Bila Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengatakan, ‘Aku tunaikan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’. Demikian pula ucapan ada’an atau qadha’an ataupun fardhal waqti.


Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam, baik dengan sanad yang shahih, dhaif, musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (tidak bersambung). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat, demikian pula tabi’in maupun imam yang empat, tak seorang pun dari mereka yang menganggap baik hal ini.


Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang belakangan) keliru memahami ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya– tentang shalat. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan zikir.”


Mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seseorang yang hendak shalat. Padahal yang dimaksudkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dengan zikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menyukai perkara yang tidak dilakukan Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam dalam satu shalat pun, begitu pula para khalifah beliau dan para sahabat yang lain? Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf saja dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan penuh ketundukan dan penerimaan. Karena, tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari sang pembawa syariat Shallallahu ‘alahi wa sallam. (Zaadul Ma’ad, 1/201)





Penegasan II



Berdasarkan kesepakatan ulama, mengeraskan niat tidak wajib dan tidak disunnahkan, bahkan yang mengeraskannya adalah ahli bid’ah dan menyelisihi syari’at. Jika seseorang melakukan dengan meyakini bahwa sesungguhnya hal itu bagian dari syari’at maka dia adalah bodoh dan sesat, berhak mendapatkan pukulan yang keras. Jika tidak maka dihadapkan kepada hukuman jika dia terus menerus diatas perbuatannya setelah mendapatkan penjelasan. Terlebih lagi jika dia mengeraskan suara sampai mengganggu orang disampingnya atau dia mengulang-ulang membacanya.

Tidak hanya satu orag dari kalangan para ulama yang telah menfatwakan hal ini, diantara mereka :


Al-Qadzi Abu Rabi’ bin Umar Asy Syafi’i berkata :

Mengeraskan niat dan membacanya dibelakang imam bukan bagian dari sunnah bahkan dibenci. Jika perbuatan itu mengacaukan orang-orang yang shalat maka hukumnya haram. Barangsiapa berkata bahwa mengeraskan niat adalah bagian dari sunnah maka dia telah keliru. Tidak halal baginya dan yang lain untuk berbicara tentang Allah tanpa ilmu


Berkata Abu ‘Abdillah Muhammad bin al-Qasim at-Tunisy al-Maliky :

Niat adalah bagian dari amalan-amalan hati, maka mengeraskannya adalah bid’ah. Disamping itu, mengeraskan niat itu mengganggu orang lain yang berada disampingnya


Asy Syaikh Alauddin bin al-‘Athar berkata :

Mengeraskan suara ketika niat sehingga mengganggu orang yang shalat adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan jika tidak sampai mengganggu orang lain maka itu sudah merupakan bid’ah yang jelek. Jika melakukannya karena riya’, maka hal itu diharamkan dari dua sisi, salah satu dari dosa besar. Orang yang mengingkari orang yang mengatakan bahwa perbuatan itu bagian dari sunnah adalah benar dan yang membenarkannya adalah salah. Dan yang menisbatkan perbuatan itu kepada agama Allah adalah suatu keyakinan kufur. Wajib atas setiap mukmin untuk mencegah dan melarangnya. Perbuatan tersebut tidaklah ternukil dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak pula dari seorangpun sahabatnya dan tidak pula ternukil dari seorangpun ulama islam yang dijadikan teladan” (Majmu’ah ar Rasaail al Kubra : 1/254-257)


Demikian juga tidak wajib melafadzkan niat dengan pelan menurut para imam empat dan seluruh imam kaum muslimin. Tidak ada seorangpun yang mewajibkan yang demikian itu, baik ketika mau bersuci atau shalat atau ketika mau berpuasa. Abu dawud bertanya kepada Imam Ahmad : “Apakah orang yang melakukan shalat membaca sesuatu sebelum takbir?” Imam Ahmad menjawab : “Tidak” (Masaail Imam Ahmad : hal 31)


As Suyuti berkata :

Diantara bid’ah juga adalah was-was dalam menetapkan niat shalat. Hal itu bukanlah perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dan bukan pula perbuatan sahabatnya. Mereka tidak mengucapkan niat shalat sedikitpun selain takbir. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

“Sungguh pada diri Rasulullah ada suri tauladan yang baik untuk kalian…” (al Ahzab : 21)


Asy Syafi’i rahimahullah berkata :

Was-was (ragu) dalam menetapkan niat ketika shalat dan bersuci adalah bagian dari kebodohan terhadap syari’at atau kelemahan akal” (Al amru bil ittibaa’ wan nahtu anil ibtidaa’ (lauhah 28/baa))


Melafadzkan niat memiliki pengaruh yang buruk. Banyak engkau lihat orang yang shalat dengan mengucapkan niat shalat yang sudah jelas dan terang, kemudian ia takbir, tetapi ia menduga bahwa niatnya belum terjadi.


Ibnul Jauzy rahimahullah berkata :

Diantara pengaruh yang buruk dari was-was adalah mengacaukan meraka dalam niat shalat. Sehingga sebagian mereka ada yang berkata : Saya akan melakukan shalat seperti ini, kemudian ia mengulanginya lagi. Hal ini terjadi karena ia menduga bahwa niatnya telah batal. Padahal niat itu tidak batal, meskipun ia tidak meridhoi lafadz itu. Diantara mereka ada yang bertakbir kemudian membatalkan, kemudian bertakbir kemudian membatalkan, maka jiak imam telah ruku’, orang yang was-was itu bertakbir dan ruku’ bersamanya. Sungguh aneh! Siapa yang mendatangkan niat saat itu (sehingga ia tidak was-was lagi)!? Yang demikian itu terjadi karena iblis ingin agar dia tidak mendapatkan keutamaan. Diantara orang yang ragu itu ada orang yang bersumpah dengan nama Allah : “Saya tidak bertakbir kecuali sekali ini.” Sebagian mereka ada yang bersumpah dengan nama Allah untuk mengeluarkan hartanya atau melakukan thalaq. Ini semua adalah pengkaburan dari iblis. Sedangkan syari’at itu sangatlah toleran, mudah dan selamat dari perkara-perkara yang membahayakan ini. Dan sedikitpun amalan ini tidak berlaku pada diri Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya.” (Talbis Iblis : 138)


Sebab munculnya was-was adalah, sesungguhnya niat itu telah muncul dalam hati orang yang was-was ini. Tetapi dia meyakini bahwa niat itu tidak ada pada hatinya. Maka dia ingin mendapatkannya dengan lisan, yaitu keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang mustahil. Abu ‘Abdillah az Zubairy telah melakukan kesalahan terhadap perkataan imam asy Syafi’i tatkala dia telah mengeluarkan satu sisi dari perkataan Imam tersebut. Dengan sangkaan bahwa dia (Imam Syafi’i) itu telah mewajibkan pelafadzan niat dalam shalat! Penyebab kesalahannya adalah jeleknya pemahaman az zubairy terhadap perkataan imam asy syafi’i.


Ungkapan Asy Syafi’i teksnya adalah :

Jika seseorang telah meniatkan haji dan umroh, maka niatnya itu mencukupi meskipun dia tidak melafadzkan (mengucapkan) nya. Sehingga tidak seperti shalat yang tidak dianggap sah kecuali dengan mengucapkannya.”


An Nawawi rahimahullah berkata :

Sahabat-sahabat kami telah berkata : Kesalahan orang ini adalah bahwa yang dimaksudkan oleh asy Syafi’i bukanlah mengucapkan niat itu dalam shalat, sebaliknya yang dia maukan adalah takbir.” (Syaikh Bakr Abu Zaid – At Ta’lim : 100)


Ibnu Abul ‘Izzi al Hanafi rahimahullah berkata :

Tidak ada seorangpun dari Imam empat dan tidak juga asy syafi’i dan lainnya yang mengatakan bahwa syarat dari niat itu dengan melafadzkan. Mereka bersepakan bahwa niat itu tempatnya dalam hati. Kecuali sebagian orang yang hidup dimasa akhir yang mewajibkan pengucapan niat dan dia telah mengeluarkan satu sisi dalam madzhab Asy Syafi’i!” An Nawawi berkata : “Dia telah salah. Dan itu telah didahului oleh kesepakatan (ijma’) sebelumnya” (Al –Ittiba’ : 62)


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :

Beliau Shallallahu’alaihi wa sallam jika berdiri hendak melakukan shalat, beliau berkata Allahu Akbar dan sebelumnya tidak berkata sesuatu apapun dan tidak melafadzkan niat. Beliau tidak berkata : “Saya shalat seperti ini empat raka’at karena Allah dengan menghadap kiblat sebagai imam atau makmum untuk…” dan beliau tidak berkata : “Untuk memenuhi kewajiaban pada waktunya atau sebagai qadha.” Ini adalah kumpulan bid’ah-bid’ah, dimana tidak ada seorangpun yang menukil tentangnya meskipun hanya satu lafadz dengan sanad yang shahih atau dha’if atau bersanad mursal. Bahkan tidak ada yang ternukil dari seorang sahabatpun, tidak ada satupun dari kalangan tabi’in yang menganggap baik perbuatan itu, tidak juga imam empat.


Hanya sebahagian orang muta’akhir tertipu oleh ucapan Asy Syafi’i di dalam shalat : “Sesungguhnya hal itu tidaklah seperti puasa dan tidak ada satupun amalan yang masuk didalamnya kecuali dzikir. Mereka menduga bahwa dzikir bagi orang yang shalat itu dengan melafadzkan niat. Sesungguhnya maksud Asy Syafi’i dengan dzikir adalah takbiratul ihram dan tidak ada yang lain kecuali itu. Bagaimana mungkin asy Syafi’i mensunnahkan suatu perkara yang tidak dilakukan oleh Nabi dalam satupun shalatnya. Dan tidak ada satupun dari kalangan khalifahnya dan sahabat-sahabatnya yang melakukannya. Inilah petunjuk mereka dan perjalanan hidup mereka. Jika ada orang yang memunculkan satu huruf dari mereka (Rasulullah dan para sahabatnya) dalam perkara itu kepada kita, maka kita terima. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk mereka (Rasulullah dan para sahabatnya) dan tidak ada sunnah kecuali sesuatu yang telah mereka terima dari pemilik syari’at yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala” (Zaadul Ma’ad (1/201))


Dari uraian yang lalu, dapat kami ringkas sebagai berikut :

Sesungguhnya ketetapan para Ulama yang hidup dizaman dan tempat yang berbeda-beda menunjukkan bahwa mengeraskan niat adalah bid’ah. Barangsiapa yang berpendapat bahwa perkara itu adalah sunnah sungguh dia telah salah dalam memahami perkataan Imam Asy Syafi’i dan terhadap dalil-dalil dari sunnah nabawiyah tentang ini.


Dari Aisyah, dia berkata :

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam membuka shalatnya dengan takbir” (Muslim, nomer 498)


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’alhu dia berkata :

Sesungguhnya Rasulullah berkata kepada orang yang jelek shalatnya, tatkala orang itu berkata : Ajarilah aku wahai Rasulullah. Maka beliau berkata kepadanya :

“Jika engkau berdiri melakukan shalat maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah, kemudian bacalah ayat al Qur’an yang mudah bagi engkau


Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu dia berkata :

Saya meliahat Nabi memulai takbir dalam shalat, maka beliau mengangkat kedua tangannya” (Bukhari, nomer 738)


Nash-nash seperti ini dan yang sepertinya banyak dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan yang menunjukkan bahwa pembukaan shalat dengan takbir. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengucapkan sesuatupun sebelumnya. Hal tersebut dikuatkan oleh ijma’ ulama bahwa jika lisan menyelisihi hati, maka yang dianggap adalah yang didalam hati. Dengan demikian apa faedahnya mengucapkan niat jika telah ada ijma’ tentang tidak dianggapnya ucapan lisan yang menyelisihi sesuatu yang telah kokoh dalam hati?!.

Hal ini mengisyaratkan adanya kontradiksi pada orang yang berkata bahwa wajibnya mengiringkan niat dengan takbir, dalam keadaa dia mensunnahkan atau mewajibkan untuk melafadzkan niat. Oleh karena itu bagaimana seseorang bisa mengucapkan niat ketika lisannya mengucapkan takbir? Ini adalah perkara yang mustahil.


Ibnu Abil Izzi Al Hanafy berkata : Asy Syafi’i berkata :

Dzikir lisan tidak bisa bersamaan dengan dzikir hati. Kebanyakan manusia tidak mampu melakukannya berdasarkan pengakuan mereka. Jika ada orang yang mendakwakan harusnya bersamaan antara dzikir hati dengan lisan, maka dia telah mendakwakan sesuatu yang ditolak oleh akal sehat. Yang demikian itu terjadi karena lisan merupakan penterjemah terhadap sesuatu yang telah hadir di dalam hati. Sedangkan yang diterjemahkan telah mendahului sampai selesai dari huruf-huruf tentang niat yang dilafadzkan, bahwa tidak mungkin ada kebersamaan antara keduanya. Maka bagaiman huruf-huruf yang diucapkan oleh lisan itu bisa bersamaan dengan sesuatu yang telah terjadi sebelumnya?” (al Ittibaa’ halaman 61-62)


(Dikutip dari buku : Koreksi atas kekeliruan ibadah shalat, alih bahasa : Muhaimin bin Subaidi dan Hannan Husain Bahannan, Penerbit : Maktabah Salafy Press




Penegasan III



Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu berkata:


Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :

"Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanyalah mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Maka siapa yang amalan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang dia tujukan/niatkan".


Hadits yang agung di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam beberapa tempat dari kitab shahihnya (hadits no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953) dan Imam Muslim rahimahullah dalam shahihnya (no. 1908).


Berkata Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali tentang hadits ini : "Yahya bin Said Al Anshari bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dari `Alqamah bin Waqqash Al Laitsi, dari Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu. Dan tidak ada jalan lain yang shahih dari hadits ini kecuali jalan ini. Demikian yang dikatakan oleh Ali ibnul Madini dan selainnya”. Berkata Al Khaththabi : "Aku tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ahli hadits dalam hal ini sementara hadits ini juga diriwayatkan dari shahabat Abu Said Al Khudri dan selainnya”. Dan dikatakan: Hadits ini diriwayatkan dari jalan yang banyak akan tetapi tidak ada satupun yang shahih dari jalan-jalan tersebut di sisi para huffadz (para penghafal hadits).


Kemudian setelah Yahya bin Said Al Anshari banyak sekali perawi yang meriwayatkan darinya, sampai dikatakan : Telah meriwayatkan dari Yahya Al Anshari lebih dari 200 perawi. Bahkan ada yang mengatakan jumlahnya mencapai 700 rawi, yang terkenal dari mereka di antaranya Malik, Ats Tsauri, Al Auza`i , Ibnul Mubarak, Al Laits bin Sa`ad, Hammad bin Zaid, Syu`bah, Ibnu `Uyainah dan selainnya. .


Ulama bersepakat menshahihkan hadits ini dan menerimanya dengan penerimaan yang baik dan mantap. Imam Bukhari membuka kitab Shahihnya dengan hadits ini dan menempatkannya seperti khutbah/mukaddimah bagi kitab beliau, sebagai isyarat bahwasanya setiap amalan yang tidak ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah maka amalan itu batil, tidak akan diperoleh buah/hasilnya di dunia terlebih lagi di akhirat. Karena itulah berkata Abdurrahman bin Mahdi: "Seandainya aku membuat bab-bab dalam sebuah kitab niscaya aku tempatkan pada setiap bab hadits Umar tentang amalan itu dengan niatnya”. Beliau juga mengatakan: "Siapa yang ingin menulis sebuah kitab maka hendaknya ia memulai dengan hadits innamal a'malu binniyah. (Jam`iul `Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 59-60. Muassasah Ar Risalah, cet. Ke-4, th. 1413 H/1993 M)


Hadits ini selain diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim juga diriwayatkan oleh para imam yang lain. Dan komentar tentang hadits ini kami cukupkan dari menukil ucapan Ibnu Rajab Al Hambali di atas karena padanya ada kifayah (kecukupan).


Penjelasan Hadits


Dari hadits di atas kita pahami bahwasanya setiap orang akan memperoleh balasan amalan yang dia lakukan sesuai dengan niatnya.


Dalam hal ini telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: "Setiap amalan yang dilakukan seseorang apakah berupa kebaikan ataupun kejelekan tergantung dengan niatnya. Apabila ia tujukan dengan perbuatan tersebut niatan/maksud yang baik maka ia mendapatkan kebaikan, sebaliknya bila maksudnya jelek maka ia mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan".


Beliau juga mengatakan: "Hadits ini mencakup di dalamnya seluruh amalan, yakni setiap amalan harus disertai niat. Dan niat ini yang membedakan antara orang yang beramal karena ingin mendapatkan ridla Allah dan pahala di negeri akhirat dengan orang yang beramal karena ingin dunia apakah berupa harta, kemuliaan, pujian, sanjungan, pengagungan dan selainnya". (Makarimul Akhlaq, hal 26 dan 27)


Di sini kita bisa melihat arti pentingnya niat sebagai ruh amal, inti dan sendinya. Amal menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya amal jadi rusak karena niat yang rusak.


Dinukilkan dari sebagian salaf ucapan mereka yang bermakna: "Siapa yang senang untuk disempurnakan amalan yang dilakukannya maka hendaklah ia membaikkan niatnya. Karena Allah ta`ala memberi pahala bagi seorang hamba apabila baik niatnya sampaipun satu suapan yang dia berikan (akan diberi pahala)".


Berkata Ibnul Mubarak rahimahullah: "Berapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan yang besar bisa bernilai kecil karena niatnya". (Jamiul Ulum wal Hikam, hal. 71)


Perlu diketahui bahwasanya suatu perkara yang sifatnya mubah bisa diberi pahala bagi pelakunya karena niat yang baik. Seperti orang yang makan dan minum dan ia niatkan perbuatan tersebut dalam rangka membantunya untuk taat kepada Allah dan bisa menegakkan ibadah kepada-Nya. Maka dia akan diberi pahala karena niatnya yang baik tersebut.


Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan : "Perkara mubah pada diri orang-orang yang khusus dari kalangan muqarrabin (mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Allah) bisa berubah menjadi ketaatan dan qurubat (perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah) karena niat". (Madarijus Salikin 1/107)


Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim (7/92) ketika menjelaskan hadits:

Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian (menggauli istri) ada sedekah.


Beliau menyatakan: "Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwasanya perkara-perkara mubah bisa menjadi amalan ketaatan dengan niat yang baik. Jima’ (bersetubuh) dengan istri bisa bernilai ibadah apabila seseorang meniatkan untuk menunaikan hak istri dan bergaul dengan cara yang baik terhadapnya sesuai dengan apa yang Allah perintahkan, atau ia bertujuan untuk mendapatkan anak yang shalih, atau untuk menjaga kehormatan dirinya atau kehormatan istrinya dan untuk mencegah keduanya dari melihat perkara yang haram, atau berfikir kepada perkara haram atau berkeinginan melakukannya dan selainnya dari tujuan-tujuan yang tidak baik".(Syarh Muslim 3/44)


Seorang hamba harus terus berupaya memperbaiki niatnya dan meluruskannya agar apa yang dia lakukan dapat berbuah kebaikan. Dan perbaikan niat ini perlu mujahadah (kesungguh-sungguhan dengan mencurahkan segala daya upaya). Karena sulitnya meluruskan niat ini sampai-sampai Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata : "Tidak ada suatu perkara yang paling berat bagiku untuk aku obati daripada meluruskan niatku, karena niat itu bisa berubah-ubah terhadapku". (Hilyatul Auliya 7/5 dan 62)


Dan niat itu harus ditujukan semata untuk Allah, ikhlas karena mengharapkan wajah-Nya yang Mulia. Ibadah tanpa keikhlasan niat maka tertolak sebagaimana bila ibadah itu tidak mencocoki tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Allah ta`ala berfirman tentang ikhlas dalam ibadah ini :


Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya. (Al Bayyinah : 5)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu` Fatawa (10/49) : "Mengikhlaskan agama untuk Allah adalah pokok ajaran agama ini yang Allah tidak menerima selainnya. Dengan ajaran agama inilah Allah mengutus rasul yang pertama sampai rasul yang akhir, yang karenanya Allah menurunkan seluruh kitab. Ikhlas dalam agama merupakan perkara yang disepakati oleh para imam ahlul iman. Dan ia merupakan inti dari dakwah para nabi dan poros Al Qur'an".


Yang perlu diingat bahwasanya niat itu tempatnya di hati sehingga tidak boleh dilafazkan dengan lisan. Bahkan termasuk perbuatan bid``ah bila niat itu dilafazkan.


Pelajaran Yang Dipetik dari Hadits Ini

1. Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati.

2. Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam hadits ditunjukkan bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang disyariatkan.

3. Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya.

4. Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.

5. Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu diingat niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu menjadi ma'ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid`ah menjadi sunnah.

6. Wajibnya berhati-hati dari riya, sum`ah (beramal karena ingin didengar orang lain) dan tujuan dunia yang lainnya karena perkara tersebut merusakkan ibadah kepada Allah ta`ala.

7. Hijrah (berpindah) dari negeri kafir ke negeri Islam memiliki keutamaan yang besar dan merupakan ibadah bila diniatkan karena Allah dan Rasul-Nya.


baca selengkapnya » Masalah Niat Shalat

Hadist Sahih Tentang 73 (Tujuh Puluh Tiga) Golongan Umat Islam



Kedudukan Hadits Tujuh Puluh Tiga Golongan Umat Islam

KEDUDUKAN HADITS “TUJUH PULUH TIGA GOLONGAN UMMAT ISLAM”

MUQADDIMAH

Akhir-akhir ini kita sering dengar ada beberapa khatib dan penulis yang membawakan hadits tentang tujuh puluh dua golongan ummat Islam masuk Neraka dan hanya satu golongan ummat Islam yang masuk Surga adalah hadits yang lemah, dan mereka berkata bahwa yang benar adalah hadits yang berbunyi bahwa tujuh puluh golongan masuk Surga dan satu golongan yang masuk Neraka, yaitu kaum zindiq. Mereka melemahkan atau mendha’ifkan ‘hadits perpecahan ummat Islam menjadi tujuh puluh golongan, semua masuk Neraka dan hanya satu yang masuk Surga’ disebabkan tiga hal:

1. Karena pada sanad-sanad hadits tersebut terdapat kelemahan.
2. Karena jumlah bilangan golongan yang celaka itu berbeda-beda, misalnya; satu hadits menyebutkan tujuh puluh dua golongan yang masuk Neraka, dalam hadits yang lainnya disebutkan tujuh puluh satu golongan dan dalam hadits yang lainnya lagi disebutkan tujuh puluh golongan saja, tanpa menentukan batas.
3. Karena makna/isi hadits tersebut tidak cocok dengan akal, mereka mengatakan bahwa semestinya mayoritas ummat Islam ini menempati Surga atau minimal menjadi separuh penghuni Surga.

Dalam tulisan ini, insya Allah, saya akan menjelaskan kedudukan sebenarnya dari hadits tersebut, serta penjelasannya dari para ulama Ahli Hadits, sehingga dengan demikian akan hilang ke-musykil-an yang ada, baik dari segi sanadnya maupun maknanya.

JUMLAH HADITS TENTANG TERPECAHNYA UMMAT ISLAM

Apabila kita kumpulkan hadits-hadits tentang terpecahnya ummat menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan dan satu golongan yang masuk Surga, lebih kurang ada lima belas hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari sepuluh Imam Ahli Hadits dari 14 (empat belas) orang Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu:

1. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
2. Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu.
3. ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.
4. ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
5. Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu.
6. ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
7. Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma.
8. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu.
9. Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu.
10 Watsilah bin Asqa’ radhiyallahu ‘anhu.
11. ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani radhiyallahu ‘anhu.
12. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
13. Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.
14. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

Sebagian dari hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:

HADITS PERTAMA:

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan.

Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Abu Dawud, Kitab as-Sunnah, I-Bab Syarhus Sunnah no. 4596, dan lafazh hadits di atas adalah lafazh Abu Dawud.
2. At-Tirmidzi, Kitabul Iman, 18-Bab Maa Jaa-a fiftiraaqi Haadzihil Ummah, no. 2778 dan ia berkata: “Hadits ini hasan shahih.” (Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi VII/397-398.)
3. Ibnu Majah, 36-Kitabul Fitan, 17-Bab Iftiraaqil Umam, no. 3991.
4. Imam Ahmad, dalam kitab Musnad II/332, tanpa me-nyebutkan kata “Nashara.”
5. Al-Hakim, dalam kitabnya al-Mustadrak, Kitabul Iman I/6, dan ia berkata: “Hadits ini banyak sanadnya, dan berbicara tentang masalah pokok agama.”
6. Ibnu Hibban, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Mawaariduzh Zhamaan, 31-Kitabul Fitan, 4-Bab Iftiraqil Ummah, hal. 454, no. 1834.
7. Abu Ya’la al-Maushiliy, dalam kitabnya al-Musnad: Musnad Abu Hurairah, no. 5884 (cet. Daarul Kutub Ilmiyyah, Beirut).
8. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam kitabnya as-Sunnah, 19-Bab Fii ma Akhbara bihin Nabiyyu -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- anna Ummatahu Sataftariqu, I/33, no. 66.
9. Ibnu Baththah, dalam kitab Ibanatul Kubra: Bab Dzikri Iftiraaqil Umam fii Diiniha, wa ‘ala kam Taftariqul Ummah? I/374-375 no. 273 tahqiq Ridha Na’san Mu’thi.
10. Al-Ajurri, dalam kitab asy-Syari’ah: Bab Dzikri Iftiraqil Umam fii Diinihi, I/306 no. 22, tahqiq Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman ad-Damiiji.

Perawi Hadits:
a. Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah bin Waqqash al-Allaitsiy.
• Imam Abu Hatim berkata: “Ia baik haditsnya, ditulis haditsnya dan dia adalah seorang Syaikh (guru).”
• Imam an-Nasa-i berkata: “Ia tidak apa-apa (yakni boleh dipakai), dan ia pernah berkata bahwa Muhammad bin ‘Amir adalah seorang perawi yang tsiqah.”
• Imam adz-Dzahabi berkata: “Ia adalah seorang Syaikh yang terkenal dan hasan haditsnya.”
• Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Ia se-orang perawi yang benar, hanya padanya ada beberapa kesalahan.”
(Lihat al-Jarhu wat Ta’dilu VIII/30-31, Mizaanul I’tidal III/ 673 no. 8015, Tahdzibut Tahdzib IX/333-334, Taqribut Tahdzib II/119 no. 6208.)
b. Abu Salamah, yakni ‘Abdurrahman bin ‘Auf: Beliau adalah seorang perawi yang tsiqah, Abu Zur’ah ber-kata: “Ia seorang perawi yang tsiqah.”
(Lihat Tahdzibut Tahdzib XII/115, Taqribut Tahdzib II/409 no. 8177.)

Derajat Hadits
Hadits di atas derajatnya hasan, karena terdapat Muhammad bin ‘Amr, akan tetapi hadits ini menjadi shahih karena banyak syawahidnya.

Imam at-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”

Imam al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih menurut syarat Muslim dan keduanya (yakni al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Dan al-Hafizh adz-Dzahabi pun menyetujuinya. (Lihat al-Mustadrak Imam al-Hakim: Kitaabul ‘Ilmi I/128.)

Ibnu Hibban dan Imam asy-Syathibi telah menshahihkan hadits di atas dalam kitab al-I’tisham (II/189).

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany juga telah menshahihkan hadits di atas dalam kitab Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah no. 203 dan kitab Shahih at-Tirmidzi no. 2128.

HADITS KEDUA:

Hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan :

عَنْ أَبِيْ عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ عَبْدِ اللهِ بْنِ لُحَيِّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِيْ سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أَلاَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أََلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ .

Dari Abu ‘Amir al-Hauzaniy ‘Abdillah bin Luhai, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya ia (Mu’awiyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk Neraka dan yang satu golongan akan masuk Surga, yaitu “al-Jama’ah.”

Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Abu Dawud, Kitabus Sunnah Bab Syarhus Sunnah no. 4597, dan lafazh hadits di atas adalah dari lafazh-nya.
2. Ad-Darimi, dalam kitab Sunan-nya (II/241) Bab fii Iftiraqi Hadzihil Ummah.
3. Imam Ahmad, dalam Musnad-nya (IV/102).
4. Al-Hakim, dalam kitab al-Mustadrak (I/128).
5. Al-Ajurri, dalam kitab asy-Syari’ah (I/314-315 no. 29).
6. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam Kitabus Sunnah, (I/7) no. 1-2.
7. Ibnu Baththah, dalam kitab al-Ibaanah ‘an Syari’atil Firqah an-Najiyah (I/371) no. 268, tahqiq Ridha Na’san Mu’thi, cet.II Darur Rayah 1415 H.
8. Al-Lalikaa-iy, dalam kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunah wal Jama’ah (I/113-114) no. 150, tahqiq Dr. Ahmad bin Sa’id bin Hamdan al-Ghaamidi, cet. Daar Thay-yibah th. 1418 H.
9. Al-Ashbahani, dalam kitab al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah pasal Fii Dzikril Ahwa’ al-Madzmumah al-Qismul Awwal I/107 no. 16.

Semua Ahli Hadits di atas telah meriwayatkan dari jalan:
Shafwan bin ‘Amr, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku Azhar bin ‘Abdillah al-Hauzani dari Abu ‘Amr ‘Abdullah bin Luhai dari Mu’awiyah.”

Perawi Hadits
a. Shafwan bin ‘Amr bin Haram as-Saksaki, ia telah di-katakan tsiqah oleh Imam al-‘Ijliy, Abu Hatim, an-Nasa-i, Ibnu Sa’ad, Ibnul Mubarak dan lain-lain.
b. Azhar bin ‘Abdillah al-Harazi, ia telah dikatakan tsiqah oleh al-‘Ijliy dan Ibnu Hibban. Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata: “Ia adalah seorang Tabi’in dan haditsnya hasan.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ia shaduq (orang yang benar) dan ia dibicarakan tentang Nashb.” (Lihat Mizaanul I’tidal I/173, Taqribut Tahdzib I/75 no. 308, ats-Tsiqat hal. 59 karya Imam al-‘Ijly dan kitab ats-Tsiqat IV/38 karya Ibnu Hibban.)
c. Abu Amir al-Hauzani ialah Abu ‘Amir ‘Abdullah bin Luhai.
• Imam Abu Zur’ah dan ad-Daruquthni berkata: “Ia tidak apa-apa (yakni boleh dipakai).”
• Imam al-‘Ijliy dan Ibnu Hibban berkata: “Dia orang yang tsiqah.”
• Al-Hafizh adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Ia adalah seorang perawi yang tsiqah.” (Lihat al-Jarhu wat Ta’dilu V/145, Tahdzibut Tahdzib V/327, Taqribut Tahdzib I/444 dan kitab al-Kasyif II/109.)

Derajat Hadits
Derajat hadits di atas adalah hasan, karena ada seorang perawi yang bernama Azhar bin ‘Abdillah, akan tetapi hadits ini naik menjadi shahih dengan syawahidnya.

Al-Hakim berkata: “Sanad-sanad hadits (yang banyak) ini, harus dijadikan hujjah untuk menshahihkan hadits ini. dan al-Hafizh adz-Dzahabi pun menyetujuinya.” (Lihat al-Mustadrak I/128.)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hadits ini shahih masyhur.”
(Lihat kitab Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah I/405 karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah al-Ma’arif.)

HADITS KETIGA:

Hadits ‘Auf bin Malik Radhiyallahu 'anhu.

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِيْ الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ هُمْ؟ قَالَ: الْجَمَاعَةُ.

Dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Yahudi terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, satu (golongan) masuk Surga dan yang 70 (tujuh puluh) di Neraka. Dan Nasrani terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang 71 (tujuh puluh satu) golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, yang satu di Surga, dan yang 72 (tujuh puluh dua) golongan di Neraka,’ Ditanyakan kepada beliau, ‘Siapakah mereka (satu golongan yang masuk Surga itu) wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Al-Jama’ah.

Keterangan
Hadits ini telah diriwayatkan oleh:
1. Ibnu Majah, dalam kitab Sunan-nya Kitabul Fitan bab Iftiraaqil Umam no. 3992.
2. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam kitab as-Sunnah I/32 no. 63.
3. Al-Lalikaa-i, dalam kitab Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunah wal Jama’ah I/113 no. 149.

Semuanya telah meriwayatkan dari jalan ‘Amr, telah menceritakan kepada kami ‘Abbad bin Yusuf, telah menceritakan kepadaku Shafwan bin ‘Amr dari Rasyid bin Sa’ad dari ‘Auf bin Malik.

Perawi Hadits:
a. ‘Amr bin ‘Utsman bin Sa’ad bin Katsir bin Dinar al-Himshi.
An-Nasa-i dan Ibnu Hibban berkata: “Ia merupakan seorang perawi yang tsiqah.”
b. ‘Abbad bin Yusuf al-Kindi al-Himsi.
Ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban. Ibnu ‘Adiy berkata: “Ia meriwayatkan dari Shafwan dan lainnya hadits-hadits yang ia menyendiri dalam meriwayatkannya.”
Ibnu Hajar berkata: “Ia maqbul (yakni bisa diterima haditsnya bila ada mutabi’nya).”
(Lihat Mizaanul I’tidal II/380, Tahdzibut Tahdzib V/96-97, Taqribut Tahdzib I/470 no. 3165.)
c. Shafwan bin ‘Amr: “Tsiqah.” (Taqribut Tahdzib I/439 no. 2949.)
d. Raasyid bin Sa’ad: “Tsiqah.” (Tahdzibut Tahdzib III/195, Taqribut Tahdzib I/289 no. 1859.)

Derajat Hadits
Derajat hadits ini hasan, karena ada ‘Abbad bin Yusuf, tetapi hadits ini menjadi shahih dengan beberapa syawahidnya.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan hadits ini shahih dalam Shahih Ibnu Majah II/364 no. 3226 cetakan Maktabut Tarbiyatul ‘Arabiy li Duwalil Khalij cet. III thn. 1408 H, dan Silisilah al-Ahaadits ash-Shahihah no. 1492.

HADITS KEEMPAT:

Hadits tentang terpecahnya ummat menjadi 73 golongan diriwayatkan juga oleh Anas bin Malik dengan mempunyai 8 (delapan) jalan (sanad) di antaranya dari jalan Qatadah diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 3993:

Lafazh-nya adalah sebagai berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ اِفْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً؛ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, dan sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang semuanya berada di Neraka, kecuali satu golongan, yakni “al-Jama’ah.”

Imam al-Bushiriy berkata, “Sanadnya shahih dan para perawinya tsiqah.[1]

Hadits ini dishahih-kan oleh Imam al-Albany dalam shahih Ibnu Majah no. 3227.
(Lihat tujuh sanad lainnya yang terdapat dalam Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah I/360-361)

HADITS KELIMA:

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dalam Kitabul Iman, bab Maa Jaa-a Fiftiraaqi Haadzihil Ummah no. 2641 dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dan Imam al-Laalika-i juga meriwayatkan dalam kitabnya Syarah Ushuli I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/111-112 no. 147) dari Shahabat dan dari jalan yang sama, dengan ada tambahan pertanyaan, yaitu: “Siapakah golongan yang selamat itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

مَاأَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِيْ

“Ialah golongan yang mengikuti jejakku dan jejak para Shahabatku.”

Lafazh-nya secara lengkap adalah sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِيْ مَا أَتَى عَلَى بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَةً لَكَانَ فِيْ أُمَّتِيْ مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh akan terjadi pada ummatku, apa yang telah terjadi pada ummat bani Israil sedikit demi sedikit, sehingga jika ada di antara mereka (Bani Israil) yang menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, maka niscaya akan ada pada ummatku yang mengerjakan itu. Dan sesungguhnya bani Israil berpecah menjadi tujuh puluh dua millah, semuanya di Neraka kecuali satu millah saja dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga millah, yang semuanya di Neraka kecuali satu millah.’ (para Shahabat) bertanya, ‘Siapa mereka wahai Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya.’”
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2641, dan ia berkata: “Ini merupakan hadits penjelas yang gharib, kami tidak mengetahuinya seperti ini, kecuali dari jalan ini.”)

Perawi Hadits
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang lemah, yaitu ‘Abdur Rahman bin Ziyad bin An’um al-Ifriqiy. Ia dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in, Imam Ahmad, an-Nasa-i dan selain mereka. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Ia lemah hafalannya.”
(Tahdzibut Tahdzib VI/157-160, Taqribut Tahdzib I/569 no. 3876.)

Derajat Hadits
Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan, karena banyak syawahid-nya. Bukan beliau menguatkan perawi di atas, karena dalam bab Adzan beliau melemahkan perawi ini.
(Lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah no. 1348 dan kitab Shahih Tirmidzi no. 2129.)

KESIMPULAN

Kedudukan hadits-hadits di atas setelah diadakan penelitian oleh para Ahli Hadits, maka mereka berkesimpulan bahwa hadits-hadits tentang terpecahnya ummat ini menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, 72 (tujuh puluh dua) golongan masuk Neraka dan satu golongan masuk Surga adalah hadits yang shahih, yang memang sah datangnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak boleh seorang pun meragukan tentang keshahihan hadits-hadits tersebut, kecuali kalau ia dapat membuktikan berdasarkan ilmu hadits tentang kelemahannya.

Hadits-hadits tentang terpecahnya ummat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan adalah hadits yang shahih sanad dan matannya. Dan yang menyatakan hadits ini shahih adalah pakar-pakar hadits yang memang sudah ahli di bidangnya. Kemudian menurut kenyataan yang ada bahwa ummat Islam ini berpecah belah, berfirqah-firqah (bergolongan-golongan), dan setiap golongan bang-ga dengan golongannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang ummat Islam berpecah belah seperti kaum musyrikin:

“Artinya : Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama me-reka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [Ar-Rum: 31-32]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar, jalan selamat dunia dan akhirat. Yaitu berpegang kepada Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.

ALASAN MEREKA YANG MELEMAHKAN HADITS INI SERTA BANTAHANNYA

Ada sebagian orang melemahkan hadits-hadits tersebut karena melihat jumlah yang berbeda-beda dalam penyebutan jumlah bilangan firqah (kelompok) yang binasa tersebut, yakni di satu hadits disebutkan sebanyak 70 (tujuh puluh) firqah, di hadits yang lainnya disebutkan sebanyak 71 (tujuh puluh satu) firqah, di hadits yang lainnya lagi disebutkan sebanyak 72 (tujuh puluh dua) firqah, dan hanya satu firqah yang masuk Surga.

Oleh karena itu saya akan terangkan tahqiqnya, berapa jumlah firqah yang binasa itu?

Pertama, di dalam hadits ‘Auf bin Malik dari jalan Nu’aim bin Hammad yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam kitab Musnad-nya (I/98) no. 172, dan Hakim (IV/ 430) disebut tujuh puluh (70) firqah lebih, dengan tidak menentukan jumlahnya yang pasti.

Akan tetapi, sanad hadits ini dha’if (lemah), karena di dalam sanadnya ada seorang perawi yang bernama Nu’aim bin Hammad al-Khuzaa’i.

Ibnu Hajar berkata, “Ia banyak salahnya.”

An-Nasa-i berkata, “Ia orang yang lemah.”

(Lihat Mizaanul I’tidal IV/267-270, Taqribut Tahdzib II/250 no. 7192 dan Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhuu’ah I/148, 402 oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.)

Kedua, di hadits Sa’ad bin Abi Waqqash dari jalan Musa bin ‘Ubaidah ar-Rabazi yang diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam kitab asy-Sya’riah, al-Bazzar dalam kitab Musnad-nya sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Hafizh al-Haitsami dalam kitab Kasyful Atsaar ‘an Zawaa-idil Bazzar no. 284. Dan Ibnu Baththah dalam kitab Ibanatil Kubra nomor 263, 267. Disebutkan dengan bilangan tujuh puluh satu (71) firqah, sebagaimana Bani Israil.

Akan tetapi sanad hadits ini juga dha’if, karena di dalamnya ada seorang perawi yang bernama Musa bin ‘Ubaidah, ia adalah seorang perawi yang dha’if.
(Lihat Taqribut Tahdzib II/226 no. 7015.)

Ketiga, di hadits ‘Amr bin ‘Auf dari jalan Katsir bin ‘Abdillah, dan dari Anas dari jalan Walid bin Muslim yang diriwayatkan oleh Hakim (I/129) dan Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, disebutkan bilangan tujuh puluh dua (72) firqah.

Akan tetapi sanad hadits ini pun dha’ifun jiddan (sangat lemah), karena di dalam sanadnya ada dua orang perawi di atas.
(Taqribut Tahdzib II/39 no. 5643, Mizaanul I’tidal IV/347-348 dan Taqribut Tahdzib II/289 no. 7483.)

Keempat, dalam hadits Abu Hurairah, Mu’awiyah, ’Auf bin Malik, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Ali bin Abi Thalib dan sebagian dari jalan Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh para imam Ahli Hadits disebut sebanyak tujuh puluh tiga (73) firqah, yaitu yang tujuh puluh dua (72) firqah masuk Neraka dan satu (1) firqah masuk Surga.

Dan derajat hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

TARJIH

Setelah kita melewati pembahasan di atas, maka dapatlah kita simpulkan bahwa yang lebih kuat adalah yang menyebutkan dengan 73 (tujuh puluh tiga) golongan.

Kesimpulan tersebut disebabkan karena hadits-hadits yang menerangkan tentang terpecahnya ummat menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan adalah lebih banyak sanadnya dan lebih kuat dibanding hadits-hadits yang menyebut 70 (tujuh puluh), 71 (tujuh puluh satu), atau 72 (tujuh puluh dua).

MAKNA HADITS

Sebagian orang menolak hadits-hadits yang shahih karena mereka lebih mendahulukan akal daripada wahyu, padahal yang benar adalah wahyu yang berupa nash al-Qur’an dan Sunnah yang sah lebih tinggi dan jauh lebih utama dibanding dengan akal manusia. Wahyu adalah ma’shum sedangkan akal manusia tidak ma’shum. Wahyu bersifat tetap dan terpelihara sedangkan akal manusia berubah-ubah. Dan manusia mempunyai sifat-sifat kekurangan, di antaranya:

Manusia ini adalah lemah, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Artinya : Dan diciptakan dalam keadaan lemah.” [An-Nisaa’: 28]

Dan manusia itu juga jahil (bodoh), zhalim dan sedikit ilmunya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Artinya : Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesung-guhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” [Al-Ahzaab: 72]

Serta seringkali berkeluh kesah, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Artinya ; Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.” [Al-Ma’aarij : 19]

Sedangkan wahyu tidak ada kebathilan di dalamnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji.” [Al-Fushshilat : 42]

Adapun masalah makna hadits yang masih musykil (sulit difahami), maka janganlah dengan alasan tersebut kita terburu-buru untuk menolak hadits-hadits yang sahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena betapa banyaknya hadits-hadits sah yang belum dapat kita fahami makna dan maksudnya.

Permasalahan yang harus diperhatikan adalah bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui daripada kita. Al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih tidak akan mungkin bertentangan dengan akal manusia selama-lamanya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa ummatnya akan mengalami perpecahan dan perselisihan dan akan menjadi 73 (tujuh puluh tiga) firqah, semuanya ini telah terbukti.

Dan yang terpenting bagi kita sekarang ini ialah berusaha mengetahui tentang kelompok-kelompok yang binasa dan golongan yang selamat serta ciri-ciri mereka berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang sah dan penjelasan para Shahabat dan para ulama Salaf, agar kita termasuk ke dalam “Golongan yang selamat” dan menjauhkan diri dari kelompok-kelompok sesat yang kian hari kian berkembang.

Golongan yang selamat hanya satu, dan jalan selamat menuju kepada Allah hanya satu, Allah Subahanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada-mu agar kamu bertaqwa.” [Al-An’am: 153]

Jalan yang selamat adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sha-habatnya.

Bila ummat Islam ingin selamat dunia dan akhirat, maka mereka wajib mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.

Mudah-mudahan Allah membimbing kita ke jalan selamat dan memberikan hidayah taufiq untuk mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.

Wallahu a’lam bish shawab.

MARAJI’

1. Al-Qur-anul karim serta terjemahannya, DEPAG.
2. Shahih al-Bukhari dan Syarah-nya cet. Daarul Fikr.
3. Shahih Muslim cet. Darul Fikr (tanpa nomor) dan tarqim: Muhammad Fuad Abdul Baqi dan Syarah-nya (Syarah Imam an-Nawawy).
4. Sunan Abi Dawud.
5. Jaami’ at-Tirmidzi.
6. Sunan Ibni Majah.
7. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
8. Sunan ad-Darimi, cet. Daarul Fikr, th. 1389 H.
9. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hakim, cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
10. Mawaariduzh Zham-aan fii Zawaa-id Ibni Hibban, oleh al-Hafizh al-Haitsamy, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
11. Musnad Abu Ya’la al-Maushiliy, oleh Abu Ya’la al-Maushiliy, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah, th. 1418 H.
12. Kitaabus Sunnah libni Abi ‘Ashim, oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1413 H.
13. Al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah (Ibaanatul Kubra), oleh Ibnu Baththah al-Ukbary, tahqiq: Ridha bin Nas’an Mu’thi, cet. Daarur Raayah, th. 1415 H.
14. As-Sunnah, oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim.
15. Kitaabusy Syari’ah, oleh Imam al-Ajurry, tahqiq: Dr. ‘Ab-dullah bin ‘Umar bin Sulaiman ad-Damiji, th. 1418 H.
16. Al-Jarhu wat-Ta’dil, oleh Ibnu Abi Hatim ar-Raazy, cet. Daarul Fikr.
17. Tahdziibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqa-lani, cet. Daarul Fikr.
18. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqa-lani, cet. Daarul Fikr.
19. Mizaanul I’tidaal, oleh Imam adz-Dzahabi.
20. Shahiih at-Tirmidzi bi Ikhtishaaris Sanad, oleh Imam al-Albani, cet. Maktabah at-Tarbiyah al-‘Arabi lid-Duwal al-Khalij, th. 1408 H.
21. Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Makatabah al-Ma’arif.
22. Al-I’tisham, oleh Imam asy-Syathibi, tahqiq: Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, cet. II-Daar Ibni ‘Affan, th. 1414 H.
23. Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunah wal Jama’ah, oleh Imam al-Lalikaa-iy, tahqiq: Dr. Ahmad bin Sa’id bin Hamdan al-Ghamidi, cet. Daar Thayyibah, th. 1418 H.
24. Al-Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, oleh al-Ashbahani, tah-qiq: Syaikh Muhammad bin Rabi’ bin Hadi ‘Amir al-Madkhali, cet. Daarur Raayah, th. 1411 H.
25. Ats-Tsiqaat, oleh Imam al-’Ijly.
26. Ats-Tsiqat, oleh Imam Ibnu Hibban.
27. Al-Kasyif, oleh Imam adz-Dzahaby.
28. Silsilatul Ahaadits adh-Dhai’fah wal Maudhuu’ah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
29. Shahih Ibnu Majah, oleh Syaikh Muhammad Nashirud-din al-Albany, cetakan Maktabut Tarbiyatul ‘Arabiy lid-Duwalil Khalij, cet. III, thn. 1408 H.
30. Mishbahuz Zujajah, oleh al-Hafizh al-Busairy.
31. Kasyful Atsaar ‘an Zawaa-idil Bazzar, oleh al-Hafizh al-Haitsami.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_______
Footnote
1] Lihat kitab Mishbahuz Zujajah (IV/180). Secara lengkap perkataannya adalah sebagai berikut: Ini merupakan sanad (hadits) yang shahih, para perawinya tsiqah, dan telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad juga dalam Musnad-nya dari hadits Anas pula, begitu juga diriwayatkan oleh Abu Ya'la al-Maushiliy.

Sumber:http://www.almanhaj.or.id/content/453/slash/0
baca selengkapnya » Hadist Sahih Tentang 73 (Tujuh Puluh Tiga) Golongan Umat Islam